Ritual
Ospek atau lebih dikenal sebagai Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru
(PK2 Maba) di Universitas Brawijaya kembali digelar tahun ini. Pemandangan yang
kurang lebih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Universitas Brawijaya
yang saat ini menerima kurang lebih
15.000 mahasiswa baru kembali bersolek untuk menyambut upacara rutin tahunan
ini.
Seluruh elemen dilibatkan, terutama mahasiswa lama sebagai panitia pelaksana
acara PK2 baik tingkat universitas maupun fakultas. Ritual lain yang tak lepas
dari PK2 Maba yang diramaikan sekali setahun ini adalah atribut-atribut dan
perlengkapan yang harus dibawa oleh mahasiswa baru, mulai dari nametag dengan warna tertentu, pita
untuk kuncir rambut, topi, alas duduk, tas karung, dan masih banyak lagi.
Panitia yang bertugas musti berpikir keras untuk mengarang perlengkapan dan
atribut, mulai dari spesifikasi warna, ukuran, model yang pastinya semua itu harus
dipenuhi oleh para mahasiswa baru ini. Jika tidak, panitia akan memberikan
sanksi tersendiri dan berujung pada sertifikat kelulusan PK2. Sertifikat
tersebut digunakan untuk syarat kelulusan perkuliahan mahasiswa selanjutnya.
Kreativitas itu dikomersialisasikan?
Maksud hati ingin melihat adik-adik berpikir kreatif dan mandiri, namun sayangngya ide tentang atribut dan perlengkapan itu berhasil dimanfaatkan oleh para penjual atribut Ospek yang setiap tahunnya berjajar di sepanjang Jalan Veteran. Memang pada dasarnya generasi muda Indonesia yang sangat gemar melakukan hal-hal praktis dan instan, tentu saja penjual atribut Ospek itu kebanjiran pesanan.
Alhasil, atribut dan perlengkapan Ospek berhasil mencetak mahasiswa baru yang bukan berpikiran kreatif dan mandiri seperti harapan panitia, melainkan berpikiran praktis dan instan sesuai dengan harapan penjual atribut Ospek Jalan Veteran.
Panitia
dan pihak universitas sendiri tak mampu membendung penjual atribut Ospek
tersebut yang semakin tahun semakin bertambah. Dan mahasiswa baru yang mindset-nya telah terinstankan oleh
penjual atribut Ospek tersebut akan terus membanjiri trotoar Veteran, sembari
merogoh uang yang cukup banyak. Tentu saja, dibanding dengan membuat sendiri,
membeli lebih mahal. Momen seperti inilah yang menjadi rezeki tersendiri bagi
para penjual atribut Ospek.
Seperti jatuh tertimpa tangga pula, lagi-lagi
mahasiswa baru yang menjadi korban pembodohan ini. Sudah lelah memikirkan
keperluan yang diminta panitia, masih juga harus mengikhlaskan uang bekal
mereka untuk membeli atribut dan perlengkapan. Padahal, mengingat sejak awal
masuk kampus, biaya pendidikan yang harus dipenuhi mahasiswa telah dipatok
sangat tinggi. Ah, nasib maba…
Esensi Ospek dan atributnya (sebenarnya bagaimana?)
Maba Fakultas Teknik Universitas Brawijaya mengecek ulang barang bawaan mereka |
Dilihat dari segi ekonomis, juga mungkin tidak ada, karena tidak mungkin setelah mahasiswa baru memakainya, kemudian akan dijual kembali. Malah, dengan adanya atribut dan perlengkapan Ospek yang rumit dan mahal ini merupakan pressure tersendiri bagi mahasiswa baru, mengingat ancaman-tidak-dapat-sertifikat itu terus menghantui.
Ajang pengenalan kehidupan kampus ini akan selalu berotasi setiap tahunnya. Dan mahasiswa baru berikutnya mungkin akan mengalami hal yang sama. Sungguh pemandangan yang sangat monoton, tak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Termasuk kelengkapan atribut yang rumit dan mahal itu. Pendidikan tinggi yang biayanya semakin menjulang itu semakin ditambah dengan komersialisasi atribut Ospek merupakan fenomena yang sangat kontras dengan pentingnya kebutuhan pendidikan bagi seluruh generasi muda.
Keadaan ini akan menjadi bertambah buruk karena efek pemikiran mahasiswa yang akhirnya cenderung berpikir instan karena adanya komersialisasi tersebut, tanpa mengerti esensi dasar dari seluruh rangkaian pengenalan kehidupan kampus yang mereka jalani. Dan kesimpulan akan Ospek adalah selalu menjadi momen menakutkan dan menyengsarakan yang tetap bersarang dalam pemikiran mereka.
Kritisasi
ini akhirnya berujung pada sebuah himbauan untuk berpikir solutif dan
bermanfaat. Tradisi ritual Ospek beserta atributnya ini akan terus berlanjut
seperti fenomena tersebut jika generasi-generasi muda tidak mampu menyumbangkan
gebrakan berarti. Dan komersialisasi kreativitas ini akan terus berkembang,
memenuhi cabang-cabang seluruh institusi pendidikan tinggi dan mungkin saja
akan berkembang di tingkat pendidikan dibawahnya. Haruskah? Yang tentu, jangan
biarkan.
Terus
berkaryalah para mahasiswa ! Kreativitas kalian adalah kemajuan bangsa.
(Opini ini telah diterbitkan dalam Jurnal PKK Maba 2012 LPM Kavling 10 Edisi Kamis, 30 Agustus 2012 dan telah diunggah pada blog Kavling 10).
(Opini ini telah diterbitkan dalam Jurnal PKK Maba 2012 LPM Kavling 10 Edisi Kamis, 30 Agustus 2012 dan telah diunggah pada blog Kavling 10).
Saya benci OSPEK. Suami saya pelaku OSPEK. Jadi kami sering berdebat tentang OSPEK. Buat saya, ospek itu feodalisme gaya baru. Junior menghamba ke senior. Senior berbuat semaunya ke junior. Yang junior dibuat takut untuk patuh. Senior, berasa balas dendam karena pernah diperlakukan sama. Jadi ospek mah menurut saya lingkaran setan. gak ada pentingnya, ga ada bagusnya selain bikin takut & keluar duit ga perlu. Bilangnya sih biar kompak. Tapi kok caranya gitu amat ya. Suami saya bilang sih ospek sekarang berbeda dengan ospek jaman dia dulu kuliah. Buat saya sama saja: feodalisme akademisi :D
ReplyDeletesebenernya ospek bagus untuk melatih mental,keberanian,dan semangat juang,ya..disinilah tantangan untuk siswa baru,tapi mahasiswa senior harusnya juga jgn terlalu keterlaluan,tetap menghargai HAM dan yang pasti tetap mengusahakan bagi kepentingan maba
ReplyDeleteTerimakasih buat artikel ataupun informasinya sob.. mantab..
ReplyDelete