Skip to main content

Jakarta Maghrib: ketika kota menemukan titik tengahnya...





Jakarta Maghrib merupakan judul film indie yang disutradarai oleh Salman Aristo. Bercerita tentang fenomena kehidupan sosial yang terjadi di masyarakat urban ibukota dengan konsep setting waktu pada saat maghrib. Film yang rilis 4 Desember 2010 ini berdurasi 75 menit dengan lima segmen cerita pendek yang berbeda:

IMAN cuma ingin NUR 

Segmen pertama dalam film ini diisi dengan fenomena kehidupan rumah tangga seorang pria bernama Iman (Indra Birowo) bersama istrinya Nur (Widi Aulia). Iman berprofesi sebagai satpam sedangkan Nur ibu rumah tangga. Mereka hidup bersama orang tua mereka.

Gambaran sebuah keluarga kecil yang pas-pasan sangat kental ditampakkan dalam segmen ini. Selama Iman dan Nur berdialog, bayi mereka menangis tiada henti. Kepenatan mencari nafkah dan mengurus anak membuat mereka berdua ingin bercinta. Nur meletakkan bayinya di box bayi. 

Namun niat mereka urung, karena ibu memanggil Nur. Ibunya berkata bayi tidak boleh dibiarkan tidur ketika menjelang maghrib. Iman yang merasa kecewa langsung beranjak pergi meninggalkan istrinya yang kembali sibuk mengurus bayi mereka.

Pesan yang ingin disampaikan dalam film ini sebenarnya sangat mengena sesuai dengan permasalahan ruwetnya hidup berumah tangga di Jakarta jika penghasilan pas pasan. Keruwetan masalah rumah tangga ini memang kompleks, namun kadang menjadi kenikmatan tersendiri bagi mereka. 

Minimnya penghasilan membuat mereka harus rela berdesakan dengan anggota keluarga lain. Gizi bayi sangat kurang diperhatikan. Fenomena kumuhnya perkampungan sempit di Jakarta merupakan pesan yang juga ingin disampaikan dalam film ini.

Sayangnya, noise yang ingin dimunculkan dari suara bayi menangis terlalu berlebihan, sehingga dialog keduanya tidak bisa terdengar jelas. Penonton cenderung merasa bising dengan suara bayi, sehingga esensi dialog yang ingin dimunculkan malah tenggelam. 

Teknik kamera dengan menshoot ke dada si istri yang ingin menunjukkan bahwa si suami mau bercinta, begitu terkesan merendahkan peran perempuan. Perempuan digambarkan repot dengan anaknya dan suami memaksa untuk menuruti nafsunya.


ADZAN 

Segmen kedua berjudul Adzan. Bercerita tentang seorang kakek yang renta, namun masih aktif bekerja sebagai pengurus mushola. Ia membersihkan, merapikan, dan adzan tepat waktu di mushola tersebut. Mushola itu terletak di depan rumah kecilnya yang ia buka pula sebuah warung kecil.

Warung milik Babe (Sjafrial Arifin) begitu ia disapa menjual jajanan kecil, rokok, dan kopi. Di suatu sore menjelang maghrib, seorang preman bernama Baung (Asrul Dahlan) dengan jalan gontai memalak seorang siswa SMP. Uang yang ia dapatkan ia belikan rokok dan kopi di warung Babe. 

Percakapan antara Babe dan Baung pun terjadi. Baung menertawakan kegiatan Babe yang ia nilai membuang waktu karena hanya mengurus mushola, sedangkan yang datang untuk sholat hanya satu dua orang. Itu pun ketika maghrib. Babe yang berasal dari Solok, Sumatera Barat jauh-jauh merantau ke Jakarta hanya berprofesi sebagai pengurus mushola.

Bincang-bincang mereka disudahi oleh Babe yang akan beranjak pergi untuk adzan di mushola. Tiba-tiba Babe jatuh. Ketika Baung mendekatinya, ia memeriksa Babe telah meninggal. Seketika itu juga Baung mendapat hidayah. Baung bertobat, kemudian langsung menggantikan Babe adzan di mushola. 

Akhirnya, warga kampung yang mendengar suaranya langsung berbondong-bondong ke mushola membawa massa, siap memukuli Baung.

Esensi cerita ini begitu religius dan menyentuh. Ending cerita begitu mengagetkan menambah dramatisasi dalam segmen ini. Hikmah yang dirasakan ketika Babe dan Baung berdialog begitu sarat akan makna. 

“Di mushola, tidak mengenal suku. Semua sama rata, sejajar,” kata Babe.

“Mendingan Babe ngurusin warung daripada ngurus mushola yang sering disumbang, tapi jarang dipake sholat,” kata Baung. 

Pesan yang ingin disampaikan dalam segmen ini, manusia diharap tidak hanya mementingkan urusan dunia saja, tapi juga urusan akhirat, sebab kematian akan datang pada setiap orang tanpa tahu datangnya kapan.

Akhir cerita Adzan ini juga sangat kritis, menyikapi fenomena warga yang mudah terprovokasi keadaan tanpa mengetahui fakta yang ada. Warga ramai-ramai mendatangi mushola untuk memukuli seorang preman yang sedang adzan, bukan untuk melakukan ibadah. 

Sepinya rumah ibadah pada waktu sholat juga menjadi problem yang dialami warga Jakarta yang cenderung sibuk akan pekerjaan mereka. Fenomena kemacetan Jakarta pasti akan dijadikan alasan mengapa banyak orang yang melewatkan waktu ibadah mereka.

Pekerjaan Babe sebagai pengurus mushola tersirat sebagai pekerjaan yang remeh, tidak penting dan tidak dihargai masyarakat sekitar. Ia melakukannya cuma-cuma, hanya mengharap pahala dari Tuhan. Ketulusan Babe ini mungkin hanya dimiliki oleh satu dari sekian juta masyarakat Jakarta. 

Islam dijadikan agama patokan dalam cerita ini. Bukan bermaksud bias agama tapi Salman Aristo memilih cerita yang paling dekat dengan kehidupan agama masyarakat Jakarta, yang mayoritas memang didominasi Islam.

Teknik kamera yang dominan still diarahkan di back pemain, membuat pandangan penonton jenuh. Teknik ekspresi kurang dilakukan sehingga feel of drama kurang bisa dirasakan, apalagi endingnya begitu mengagetkan. 


MENUNGGU AKI

Segmen ketiga berjudul Menunggu Aki. Konsepnya diawali dengan shoot ke arah dua orang (Lukman Sardi dan Ringgo Agus) yang menunggu Aki di depan rumahnya. Karena tak kunjung datang, mereka berdua memilih menunggu Aki di dalam rumah. 

Disusul dengan warga lain yang keluar rumah, heran karena Aki tidak kunjung datang. Mereka akhirnya berkumpul di gazebo taman. Mereka bercakap singkat tentang Aki yang baru dijelaskan bahwa seorang penjual nasi goreng arang. 

Ketika berkumpul, mereka (Lukman Sardi, Ringgo Agus Rahman, Dedi Mahendro Desta, Fanny Fabriana, dan Lilis) memperkenalkan diri masing-masing. Lukman Sardi seorang lawyer, Desta seorang karyawan swasta, Ringgo seorang dokter, Fanny seorang wartawan, dan Lilis pembantu rumah tangga.

Lama tinggal satu kompleks tak membuat mereka berinisiatif mengenal tetangga kanan kiri mereka. Salman Aristo ingin menunjukkan bahwa Jakarta didominasi oleh warga yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, cenderung individualis, dan kurang peka terhadap lingkungan sekitar. 

Ini ditunjukkan dengan konflik fenomena yang terjadi pada sebuah rumah production house di sekitar lingkungan kompleks mereka. Rumah itu sering menyebabkan kegaduhan sehingga mengganggu ketenangan warga.

Namun dari kelima orang yang menunggu Aki ini tidak ada yang mau bertindak menegur rumah tersebut, dan memilih kembali ke rumah masing-masing. Alasan mereka takut disangka kolot, bukan urusan mereka, dan lain sebagainya.

Pemikiran orang modern dan mengaku memiliki intelektual ternyata mencetak generasi apatis yang tidak mau tahu dengan fenomena sekitar. Profesi mereka yang seharusnya dekat dengan rasa sosial kepada masyarakat malah pupus. Begitu memprihatinkan. 

Bagian yang menceritakan Fanny Fabriana sebagai seorang wartawan mencerminkan kesetaraan profesi antar gender. Wartawan selama ini dinilai kurang sesuai dilakukan oleh perempuan karena jam kerjanya yang tidak tentu. Fanny digambarkan sebagai perempuan yang kritis dengan mengajak tetangganya bertindak.

Teknik kamera yang terlalu lama still ke punggung pemain membuat jenuh penonton. Shoot ke arah ekspresi akan lebih baik, meski ekspresi yang ditunjukkan datar-datar saja. 


Cuplikan film Jakarta Maghrib
diambil dari ganool.com

CERITA SI IVAN

Cerita Si Ivan berkisah tentang seorang anak bernama Ivan yang berlari menuju tempat persewaan playstation menjelang maghrib. Ia masih memakai seragam sekolah. Sesampai di tempat persewaan playstation Ivan melihat semua sedang disewa oleh anak-anak sebayanya.

Karena kesal menunggu, ia mulai beraksi mengarang cerita horror kepada pemilik playstation, Ence Bagus. Namun ia tidak takut. Kemudian ia menakut-nakuti anak-anak yang sedang bermain playstation itu.  

Ivan mengarang cerita tentang hantu yang datang ketika menjelang maghrib. Ia pernah mendapat cerita dari orang tuanya bahwa setan akan berkeliaran ketika maghrib. Semua anak yang asik bermain tiba-tiba lari ketakutan. Ivan pun bisa bermain playstation. 

Tidak lama kemudian, Ivan pun akhirnya takut sendiri mendengar suara adzan, teringat cerita horror yang ia ceritakan tadi. Akhirnya ia pun pulang. Dan malah tersesat di kebun karena dikejar anjing. Ia pun bingung mencari jalan pulang.

Cerita Si Ivan ini menyiratkan tentang permainan anak di zaman modern yang lebih suka memainkan games dan teknologi lainnya. Ini merupakan akar dari permasalahan mengapa permainan tradisional sekarang sangat jarang dimainkan oleh anak-anak. Penggunaan teknologi sejatinya malah melatih anak untuk tidak disiplin, manja, dan tidak mandiri. 

Cerita horror yang Ivan buat-buat merupakan dampak media yang begitu mempengaruhi pola pikir anak-anak. Anak cenderung mempercayai semua cerita yang disajikan media. Dari fenomena kecil ini, mari arahkan anak-anak ketika mereka menonton film dan acara lain di media. Anak-anak perlu diedukasi agar tidak mudah terpengaruh dengan sajian media.

Pergerakan kamera yang menggunakan teknik following, ditambah lighting yang dibiarkan natural sangat mendukung suasana seram yang ingin ditampilkan dalam film ini. Pada akhirnya, Salman Aristo ingin menyampaikan bahwa anak-anak sebaiknya berada dirumah ketika maghrib. 


JALAN PINTAS

Segmen selanjutnya berjudul Jalan Pintas, menceritakan sepasang kekasih yang melakukan perjalanan menuju persiapan pernikahan kerabat. Diperankan oleh Adinia Wirasti dan Reza Rahadian. Setting tempat yang dipilih adalah di dalam mobil dan perkampungan di Jakarta.

Salman Aristo ingin memfokuskan kepada percakapan antara Adinia Wirasti dan Reza Rahadian. Mereka adalah pasangan kekasih yang menjalin hubungan personal selama tujuh tahun dan belum diberi kepercayaan untuk menikah, karena si lelaki belum memiliki pekerjaan yang jelas, laiknya si perempuan.  

Reza Rahadian memilih gang-gang kompleks rumah warga di Jakarta sebagai jalan pintas menuju tempat tujuan mereka. Adinia Wirasti sudah mewanti-wanti agar mereka sampai di tempat tujuan sebelum maghrib. Keputusan Reza Rahadian memilih jalan pintas itu malah membuat mereka tidak kunjung sampai di tempat tujuan. Hingga adzan maghrib berkumandang. 

Reza Rahadian dan Adinia Wirasti selama perjalanan mendebatkan tentang hubungan akhir mereka tapi pada akhirnya disudahi karena si lelaki tidak bisa memberi keputusan yang jelas dan rasional.

Cerita ini menyiratkan makna bahwa pasangan kekasih di zaman sekarang tidak hanya menjalin hubungan cinta saja, tapi juga menuntut komitmen, kerasionalan, dan materi. Laki-laki seperti yang diperankan Reza Rahadian dinilai tidak bisa berkomitmen meski ia mengaku sangat menyayangi pasangannya, karena pekerjaannya tidak jelas. 

Tidak menutup kemungkinan, perempuan sekarang lebih bisa mengambil keputusan tanpa pertimbangan dengan pasangannya. Perempuan bisa lebih dominan daripada laki-laki. Namun, sifat sensitif yang ditunjukkan perempuan tidak bisa dihilangkan, sehingga perempuan dianggap berpikir dengan emosi, bukan dengan logika.

Kamera diset di dalam mobil saja agar fokus pada percakapan kedua peran. Tidak mengambil dari depan mobil dan memilih menshoot ekspresi dari samping saja. Kejadian di luar mobil sengaja tidak difokuskan, karena emosi penonton akan dimainkan lewat dialog peran-peran disini saja. 


BA’DA

Ini merupakan segmen terakhir yang memperlihatkan kembali para pemain yang ada di kelima segmen. Pungkasan cerita yang dikonsep oleh Salman Aristo ini tidak menunjukkan penyelesaian konflik yang terjadi dalam lima segmen tersebut. Penonton dipersilahkan memberi opini masing-masing.

Film Jakarta Maghrib ini konsepnya mirip dengan film Rectoverso. Film ini sarat akan realitas yang diungkap di tengah kehidupan Jakarta yang begitu metropolis. Mengapa Salman Aristo memilih maghrib?  

Menurut saya, maghrib merupakan waktu tengah antara siang dan malam. Transisi ini memang menampilkan fakta-fakta menarik dibanding waktu lainnya. Suramnya suasana maghrib identik dengan mistis dan religius. Sehingga sebagian masyarakat percaya, bahwa pamali jika keluar rumah ketika maghrib. 

Kurang jelasnya pengenalan nama tokoh dalam setiap segmen membuat dasar tokoh dalam film ini kurang, meski karakter tiap tokohnya sudah sangat mewakili.



Salman Aristo
diambil dari: 21cineplex.com

Film ini begitu menginspirasi ketika penonton bisa mengambil hikmah di setiap cerita yang ada. Sebenarnya apa yang disampaikan Salman Aristo ini tidak hanya mencakup kehidupan Jakarta, tapi juga masyarakat umum sekarang pada umumnya. Jakarta sering kali dijadikan patokan cara hidup masyarakat modern, tanpa memahami problem sosial yang terjadi di dalamnya. 



Adinia Wirasti dan Reza Rahadian ketika menerima penghargaan
sebagai pasangan terbaik oleh Indonesia Movie Award, Mei 2012.
Gambar diambil dari antaranews.com

Jakarta Maghrib telah berhasil menarik perhatian positif dari penontonnya dan mampu mengantar Salman Aristo mendapat nominasi Piala Citra sebagai Penulis Skenario Terbaik dan Penulis Cerita Asli Terbaik pada tahun 2011. Indonesia Movie Award pun memberi penghargaan kepada Reza Rahadian dan Adinia Wirasti sebagai pasangan terbaik dalam film Jakarta Maghrib.

Salman Aristo melalui karya filmnya bisa menyampaikan aspirasi masyarakat dan semoga citranya di industri film Indonesia akan selalu dihargai.



Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun. "Bung Karno"
  

Comments

  1. Ini film tahun 2012 yaa ?? sayang gaungnya biasa saja di tahun ini. Pahal ide ceritanya cukup menarik :)

    ReplyDelete
  2. Itu film rilis tahun 2010 mb dhea. Memang tidak banyak orang tahu, karena film ini tidak diputar di bioskop. Menurut beberapa blog yang aku baca, film ini tayang di kineforum Taman Ismail Marzuki.

    ReplyDelete
  3. Kalo begitu, aku nonton di Youtube aja :)

    ReplyDelete
  4. selamat pagi dan salam kenal kk, ninggalin jejek dulu yah :D

    ReplyDelete
  5. Ini film menurutku aneh El, gak ngerti kenapa. Tapi aku suka tekhnik pengambilan gambar yang segmen ketiga. Pengambilan gambarnya sekali take kayaknya, jadi kesannya alami ngobrolnya. Apa aku salah?

    ReplyDelete
  6. Lha kamu bilang aneh kok ga tau kenapa. Teknik pengambilan gambar yang segmen tiga sepertinya sekali take, kesannya alami. Tapi juga monoton, kamera still terus soalnya.

    ReplyDelete
  7. Gw baru nonton hari ini,,, telat banget yaaa...>_<

    ReplyDelete
  8. Gw baru nonton hari ini,,, telat banget yaaa...>_<

    ReplyDelete
  9. Wah saya lagi nonton sambil baca artikel mba elyvia nih.. :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

INTO THE WILD: Kisah Tragis sang Petualang Muda

Penulis: Jon Krakauer Penerjemah: Lala Herawati Dharma Penyunting: Maria M. Lubis Penerbit: Qanita Tahun: Februari, 2005 Tebal: 442 halaman “Aku ingin pergerakan dinamis, bukan kehidupan yang tenang. Aku mendambakan kegairahan, bahaya, dan kesempatan untuk mengorbankan diri bagi orang yang kucintai. Aku merasakan di dalam diriku, tumpukan energi sangat besar yang tidak menemukan penyaluran di dalam kehidupan kita yang tenang.” – Leo Tolstoy (“ Family Happines ”) Tokoh utama dalam buku non-fiksi ini adalah Christopher Johnson McCandless, seorang pemuda berusia 24 tahun yang telah merampungkan studinya di Universitas Emory pada tahun 1990. Ia adalah seorang anak dari keluarga kaya di Kota Washington, D.C. Ayahnya, Walt McCandless adalah seorang insinyur angkasa luar yang bekerja untuk perusahaan konsultan miliknya sendiri bernama User System, Inc. Mitra kerjanya adalah ibu Chris, Billie. Chris McCandless pemuda pandai. Ia lulus dengan indeks prestasi kum

Cemburu Itu Peluru

Judul: Cemburu itu Peluru Penulis: Andy Tantono, Erdian Aji, Kika Dhersy Putri, Novita Poerwanto, Oddie Frente   Penerbit: Gramedia Pustaka Utama   Tahun: 2011   Tebal: 160 halaman ISBN: 978-979-22-6868-3 DADAKU SESAK. Puisi yang kugubah sepenuh hati untukmu, kau bacakan pada sahabatku.( @Irfanaulia, via @fiksimini)     Berawal dari sebuah akun twitter @fiksimini, lima penulis antara lain Erdian Aji, Novita Poerwanto, Oddie Frente, Kika Dhersy Putry, dan Andy Tantono berhasil membawa angin segar dalam mengembangkan karya lewat benih fiksi 140 karakter. Singkat, namun ‘ledakan’nya terasa.   Lima penulis ini memiliki masing-masing ciri khas dalam menuliskan fiksinya dan hasilnya jarang mengecewakan. Ide cerita dari 140 karakter menghasilkan beragam cerita super pendek bertema cinta dan kecemburuan. Cinta dalam Cemburu itu Peluru digambarkan begitu dekat dengan realita, senyaman apa pun sengeri bagaimana pun. Cinta dalam Cemburu itu Peluru tidak hanya dimaknai se

SENJA DI JAKARTA

Penulis         : Mochtar Lubis Penerbit       : Yayasan Obor Indonesia Tahun          : Juli 2009 (Cetakan Kedua) Tebal buku   : 405 halaman Ukuran     : 17cm x 11 cm   Senja di Jakarta merupakan novel yang mengusung tema kehidupan politik dan sosial di Jakarta selama kurun waktu 1960an. Awalnya, novel ini terbit dalam bahasa Inggris dengan judul Twilight in Jakarta pada tahun 1963, dan terbit dalam bahasa Melayu tahun 1964. Sebelum Mochtar Lubis memulai kisah dalam novel ini, ia menuliskan bahwa semua pelaku dan tokoh serta kejadian dalam cerita ini tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi sebenarnya. Secara keseluruhan, cerita yang disajikan oleh penulis memang tidak bisa dipastikan benar-benar terjadi, namun pada dasarnya detail peristiwa yang dituliskannya memang pernah terjadi dan sering terjadi di Indonesia.