Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2013

PJTL bagian 4: Angkringan

Cerita sebelumnya klik PJTL bagian 3: Kedai Merah “Sebagian kita seperti tinta dan sebagian lagi seperti kertas. Jika bukan karena hitamnya sebagian kita, sebagian kita akan bisu. Dan jika bukan karena putihnya sebagian kita, sebagian kita akan buta.” – Kahlil Gibran “Kalau kita ke Pasar Johar, jaraknya masih jauh lagi, sedangkan kita hanya diberi waktu satu jam untuk liputan. Gimana kalau kita menyebar di daerah sini saja, kalian bebas meliput apa saja yang penting lingkup temanya masih anak jalanan,” jelas Mas Edo ke peserta. “Kita nanti ketemu di lampu merah ini saja, setengah jam lagi” ringkas Mas Edo sambil melihat sekitar. Ni’mah yang tadi duduk di sebelah saya ketika di bus, memilih untuk mewawancarai ibu pengemis di tengah jalan. Saya memilih untuk putar arah. Masih belum menemukan siapa dan apa yang akan saya liput. Sampai akhirnya saya melihat pom bensin yang sudah tidak berfungsi dan ditutup oleh seng di sekeliling area itu. Seng yang dicat putih itu bertulis

PJTL bagian 3: Kedai Merah

Cerita sebelumnya klik PJTL bagian 2: Bukan Andreas Harsono “Memang tak enak untuk mengingat-ingat bahwa kebahagiaan sering perlu uang yang terkadang amis dan tenaga kasar yang keringatnya berbau aneh. Kebahagiaan sering perlu sejumlah tetangga, yang tak jarang lebih miskin.” Goenawan Mohammad Kantin Udinus cukup ramai siang itu. Tiga orang perempuan berseragam hitam-merah sedang sibuk melipat kertas kardus sambil bercanda dengan rekannya. Saya menghampiri mereka ke salah satu warung. “Mbak, boleh minta waktunya sebentar? Saya peserta diklat jurnalistik, ditugaskan untuk interview narasumber di kantin Udinus. Sambil tetap bekerja saja mbak, jangan tegang, saya tanya yang ringan-ringan kok,” buka saya sambil tersenyum. Wajah ketiga perempuan yang awalnya kaget itu kemudian sedikit lentur, dan saya pun menyalami mereka satu per satu untuk mengenalkan diri. Hening karena kedatangan saya tadi berlalu seiring pertanyaan yang saya berikan. “Kok, jauh mbak kerjanya? Kenapa

PJTL bagian 2: Bukan Andreas Harsono

Cerita sebelumnya klik PJTL bagian I: Malang –Semarang   Imam Shofwan (diambil dari facebook) “Ketika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara” – Seno Gumira Ajidarma Bung Imam, begitu saya memanggilnya. Peserta yang lain, ada yang memanggilnya Mas Imam, Pak Imam, Om Imam. Panggilan terakhir yang kurang sesuai sepertinya. Nama lengkapnya Imam Shofwan.  Beliau diperkenalkan oleh Habibur Rohman, moderator diskusi Narrative Reporting, sebagai Direktur Pantau, sebuah lembaga yang memiliki tujuan untuk meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia. Namun Bung Imam sendiri mengenalkan dirinya sebagai seorang freelance writer (penulis lepas). Ia lulusan IAIN Walisongo Semarang tahun 2003. Tinggal di Jakarta tapi berasal dari Pati, Jawa Tengah. Pernah menjadi reporter Majalah Syir’ah, sebuah majalah yang mengambil sudut pandang Islam. Pada tahun 2008, Bung Imam menjadi penulis sekaligus editor di korbanlumpur.info, sebuah situs web yang meliput informasi tentang lumpu

PJTL bagian 1: Malang - Semarang

Gedung Lawang Sewu, Semarang “Beri aku sesuatu yang sulit, dan aku akan belajar.”― Andrea Hirata 5 Desember 2012. Bus Handoyo warna hitam jurusan Semarang perlahan bergerak meninggalkan Terminal Arjosari, Malang. Pukul 8 malam. Jalanan terlihat berlumpur karena hujan yang masih saja belum berhenti sejak sore. Saya duduk dekat jendela, di sebelah Dedy Baroto Trunoyudho, Bapak Sekretariat Jendral Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Malang. Kursi di sebelah kami, diduduki Asrur Rodzi, Sekretaris Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Inovasi Universitas Islam Negeri Malang dan Juluis Eduardo Luther Foeh, Badan Advokasi PPMI Nasional. Yah, kami berangkat berempat ke Semarang. Sesuai rencana, kami akan mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) di Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), Semarang. Perjalanan masih memakan waktu setengah jam. Saya dan Mas Dedy, begitu saya memanggilnya berbincang tentang apa pun untuk mencairkan suasana. Kami berbicara tent