Skip to main content

PJTL bagian 3: Kedai Merah

Cerita sebelumnya klik PJTL bagian 2: Bukan Andreas Harsono

“Memang tak enak untuk mengingat-ingat bahwa kebahagiaan sering perlu uang yang terkadang amis dan tenaga kasar yang keringatnya berbau aneh. Kebahagiaan sering perlu sejumlah tetangga, yang tak jarang lebih miskin.” Goenawan Mohammad

Kantin Udinus cukup ramai siang itu. Tiga orang perempuan berseragam hitam-merah sedang sibuk melipat kertas kardus sambil bercanda dengan rekannya. Saya menghampiri mereka ke salah satu warung.

“Mbak, boleh minta waktunya sebentar? Saya peserta diklat jurnalistik, ditugaskan untuk interview narasumber di kantin Udinus. Sambil tetap bekerja saja mbak, jangan tegang, saya tanya yang ringan-ringan kok,” buka saya sambil tersenyum.

Wajah ketiga perempuan yang awalnya kaget itu kemudian sedikit lentur, dan saya pun menyalami mereka satu per satu untuk mengenalkan diri. Hening karena kedatangan saya tadi berlalu seiring pertanyaan yang saya berikan.

“Kok, jauh mbak kerjanya? Kenapa tidak cari kerja di Purwodadi saja?” tanya saya pada salah satu perempuan bernama Ani. Usianya berkisar 28 tahun.

“Disana, nggak ada lapangan kerja mbak. Mangkanya sampai sini, lagian ikut suami saya juga,” jawabnya sambil tetap membentuk kardus makanan yang akan dibuat untuk wadah pesanan catering.

Sebagian perempuan-perempuan yang bekerja di kantin itu adalah perantau. Mereka biasanya bekerja sesuai dengan shift yang diberikan oleh bos mereka. Shift pagi dimulai pukul 5 pagi hingga 11 siang sedangkan shift malam dimulai pukul 11 siang hingga 8 malam. Pengaturan shift ini dikeluhkan oleh beberapa pekerja itu, karena pembagian jam yang tidak sama.

“Saya jarang dapat shift pagi, mbak. Jadi kerjanya mulai siang sampai malam,” kata Ani.

Tidak hanya dengan Ani, saya juga sempat berbincang dengan teman-temannya yang lain. Sesekali mereka tertawa jika pertanyaan saya tidak berkenan mereka jawab. Setelah bertanya cukup panjang lebar, saya kembali ke meja kelompok saya untuk mengerjakan liputan di kantin Udinus itu.

Waktu hampir habis. Panitia yang sedari tadi mendampingi kami mengajak kembali ke kelas. Tulisan kami sudah rampung dengan liputan seadanya. Waktu setengah jam jelas tidak cukup jika menginginkan hasil maksimal. Kami beri judul tulisan kami:

Kedai Merah.

Inspirasinya tentu dari warna kantin Udinus yang didominasi warna merah. Kami juga tidak sempat mengulas kenapa warna yang dipilih untuk kantin ini adalah merah. Kedua teman saya menulis tentang pendapat mahasiswa tentang kantin juga tentang kebersihan kantin itu.

Kelompok saya mendapat giliran pertama untuk membacakan hasil liputan di depan kelas. Saya yang membacakannya. Kelompok lain mendapat tugas untuk menedengarkan hasil liputan kemudian mengkritisi apa kekurangannya. Setelah selesai, saya dipersilahkan duduk oleh Bung Imam. 

“Cukup bagus, tapi liputannya kurang fokus pada topik permasalahan yang akan diangkat. Fokuskan, apa yang akan informasikan, tentang pekerja kantin kah, tentang pengunjung kah, atau tentang kebersihan kantin,” jelas Bung Imam lalu menawarkan kelompok lain untuk berpendapat.

Kemudian kelompok lain pun membacakan hasil mereka satu per satu di depan kelas, lalu dkritisi oleh Bung Imam satu per satu pula.


Suasana kelas saat membacakan hasil liputan (6 Desember 2012)

Seusainya dilanjutkan dengan penjelasan materi tentang Sistem Editing yang merujuk pada lima konsep dalam verifikasi menurut Bill Kovach dan Rosentiel yakni: (1) jangan menambah atau mengarang apa pun, (2) jangan menipu atau menyesatkan pembaca, (3) bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi anda, (4) bersandarlah terutama pada reportase anda sendiri dan (5) bersikaplah rendah hati.

Materi ini akhirnya menutup satu hari melelahkan di Udinus. Peserta kembali menuju ke asrama IAIN Walisongo Semarang, tempat kami menginap. Bus Udinus siap mengantar para peserta kesana. PJTL ini masih dua hari lagi.

***       
Esok harinya, pukul 8 pagi, peserta sudah bersiap kembali menuju kampus Udinus untuk melanjutkan agenda PJTL. Bus sudah menunggu di depan. Hari itu, 7 Desember 2012. Peserta diminta untuk mengemasi barang bawaan, karena malamnya, peserta tidak menginap lagi di asrama IAIN Walisongo Semarang itu, tapi di Udinus.

Saya pun membawa tas gunung saya ke dalam bus. Saya memilih duduk di bangku paling depan, di sebelah Ni’matul Jannah, peserta dari LPM Progresif, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Bus Udinus bergerak menjauh dari asrama.

Di kelas yang sama seperti kemarin, Bung Imam sudah membuka notebook sambil menikmati sarapan paginya. Peserta juga disilahkan mengisi energi sebelum mengikuti agenda liputan. Peserta nantinya akan dibagi menjadi tiga kelompok besar yang akan ditempatkan di tiga titik tempat di luar kampus Udinus.

Kelompok saya terdiri dari 11 orang yang akan liputan di sekitar Pasar Johar. Kami didampingi oleh salah satu panitia dan rekan se-bus saya dari Malang, Juluis Eduardo Luther Foeh, atau lebih akrab saya panggil dengan Mas Edo.

Saya dengan kelompok saya menuju Pasar Johar yang jaraknya lumayan jauh dari kampus Udinus, apalagi kami berjalan kaki. Sambil berjalan, sesekali saya memotret gedung-gedung yang saya lewati di sepanjang Jalan Pemuda itu.

Jalan Pemuda cukup ramai hari itu. Para pekerja mengendarai kendaraan mereka, abang becak yang sedang menunggu calon penumpang, tukang proyek yang sedang memperbaiki jalan berlubang di depan Mall Paragon, salah satu mall elit di Semarang dan kesibukan lain. Saya melihat sekolah, gedung pemerintahan, hotel-hotel besar, mobil-mobil yang diparkir di sepanjang jalanan trotoar…


Tiba-tiba Mas Edo berhenti.

(Bersambung)
                

Comments

Popular posts from this blog

INTO THE WILD: Kisah Tragis sang Petualang Muda

Penulis: Jon Krakauer Penerjemah: Lala Herawati Dharma Penyunting: Maria M. Lubis Penerbit: Qanita Tahun: Februari, 2005 Tebal: 442 halaman “Aku ingin pergerakan dinamis, bukan kehidupan yang tenang. Aku mendambakan kegairahan, bahaya, dan kesempatan untuk mengorbankan diri bagi orang yang kucintai. Aku merasakan di dalam diriku, tumpukan energi sangat besar yang tidak menemukan penyaluran di dalam kehidupan kita yang tenang.” – Leo Tolstoy (“ Family Happines ”) Tokoh utama dalam buku non-fiksi ini adalah Christopher Johnson McCandless, seorang pemuda berusia 24 tahun yang telah merampungkan studinya di Universitas Emory pada tahun 1990. Ia adalah seorang anak dari keluarga kaya di Kota Washington, D.C. Ayahnya, Walt McCandless adalah seorang insinyur angkasa luar yang bekerja untuk perusahaan konsultan miliknya sendiri bernama User System, Inc. Mitra kerjanya adalah ibu Chris, Billie. Chris McCandless pemuda pandai. Ia lulus dengan indeks prestasi kum...

Beasiswa LPDP: Mengeja Kemungkinan dengan Keyakinan

Setelah bertahun-tahun blog ini tidak terjamah, saya akhirnya menulis lagi. Akhir-akhir ini saya sering blogwalking tentang berbagai cerita pengirim lamaran beasiswa LPDP. Menarik dan informatif, sehingga saya pun ingin bercerita hal yang sama dengan sudut pandang saya. This is based on true story. Ini berdasarkan pengalaman saya yang mengikuti seleksi periode 3 tahun 2015 yang diselenggarakan sejak April-September. Sebelum Apply Lpdp… Saya ingin share cerita pengalaman saya apply beasiswa LPDP. Beasiswa dari pemerintah yang lagi hits di kalangan pemuda sekarang. Selama kuliah S1, saya tidak pernah punya pengalaman apply beasiswa. Pengetahuan saya seputar beasiswa juga minim. Cuma informasi beasiswa LPDP yang saya baca rigid setelah lulus S1. Saya juga sempat menghadiri seminar sosialisasi beasiswa LPDP di kampus saya. Sekedar flashback, saat pengadaan seminar tersebut ternyata ada sistem kuota yang dijalankan secara o...

Cemburu Itu Peluru

Judul: Cemburu itu Peluru Penulis: Andy Tantono, Erdian Aji, Kika Dhersy Putri, Novita Poerwanto, Oddie Frente   Penerbit: Gramedia Pustaka Utama   Tahun: 2011   Tebal: 160 halaman ISBN: 978-979-22-6868-3 DADAKU SESAK. Puisi yang kugubah sepenuh hati untukmu, kau bacakan pada sahabatku.( @Irfanaulia, via @fiksimini)     Berawal dari sebuah akun twitter @fiksimini, lima penulis antara lain Erdian Aji, Novita Poerwanto, Oddie Frente, Kika Dhersy Putry, dan Andy Tantono berhasil membawa angin segar dalam mengembangkan karya lewat benih fiksi 140 karakter. Singkat, namun ‘ledakan’nya terasa.   Lima penulis ini memiliki masing-masing ciri khas dalam menuliskan fiksinya dan hasilnya jarang mengecewakan. Ide cerita dari 140 karakter menghasilkan beragam cerita super pendek bertema cinta dan kecemburuan. Cinta dalam Cemburu itu Peluru digambarkan begitu dekat dengan realita, senyaman apa pun sengeri bagaimana pun. Cinta dalam Cemburu itu P...