Skip to main content

PJTL bagian 4: Angkringan


Cerita sebelumnya klik PJTL bagian 3: Kedai Merah

“Sebagian kita seperti tinta dan sebagian lagi seperti kertas. Jika bukan karena hitamnya sebagian kita, sebagian kita akan bisu. Dan jika bukan karena putihnya sebagian kita, sebagian kita akan buta.” – Kahlil Gibran

“Kalau kita ke Pasar Johar, jaraknya masih jauh lagi, sedangkan kita hanya diberi waktu satu jam untuk liputan. Gimana kalau kita menyebar di daerah sini saja, kalian bebas meliput apa saja yang penting lingkup temanya masih anak jalanan,” jelas Mas Edo ke peserta.

“Kita nanti ketemu di lampu merah ini saja, setengah jam lagi” ringkas Mas Edo sambil melihat sekitar. Ni’mah yang tadi duduk di sebelah saya ketika di bus, memilih untuk mewawancarai ibu pengemis di tengah jalan. Saya memilih untuk putar arah. Masih belum menemukan siapa dan apa yang akan saya liput.

Sampai akhirnya saya melihat pom bensin yang sudah tidak berfungsi dan ditutup oleh seng di sekeliling area itu. Seng yang dicat putih itu bertuliskan “GOAL FOR HOTEL” dengan cat merah. Seng terbuka sedikit pada bagian ujung, sehingga saya bisa melihat ke dalam.



Monggo mbak (silahkan mbak) …” sapa seorang bapak penjual angkringan. Saya pun masuk ke dalam. Kebetulan saya haus sekali sehingga saya langsung memesan segelas es teh. Bapak itu mengiyakan. Setelah membuatkan saya es teh, Bapak itu permisi sebentar untuk mengantar kopi untuk karyawan dealer motor sebelah.

Cukup lama, akhirnya bapak itu kembali.

“Nggak sarapan ta mbak? ada mie, nasi kucing…” kata Bapak itu menawarkan. Saya tersenyum kemudian mengambil pisang goreng di depan saya.

“Saya makan pisang goreng saja Pak, enak pisangnya, bikinan Ibu ya?” tanya saya basa-basi.

“Bukan mbak, itu gorengannya titipan, nasi kucingnya juga titipan, istri saya di rumah, tidak disini,” jawab Bapak itu membuat saya agak kaget.

“Bapak asli mana? sekarang tinggal dimana?”

“Saya asli Solo, saya tinggal disitu mbak,” sambil menunjuk ke arah bekas toko pom bensin. Saya makin tercengang.

“Pom bensin ini sudah lama tidak berfungsi lagi, soalnya tanahnya dibeli sama yang punya hotel di seberang jalan itu lo mbak, lha saya ini kebetulan diberi tempat untuk jualan, sama tempat buat tidur, Alhamdulillah mbak…” terang Bapak itu sambil sesekali melayani pembelinya yang rata-rata berseragam kantor.

Macam-macam makanan di angkringan itu

Pom bensin yang sudah tidak berfungsi lagi


Tidak ingin tercengang lama-lama, saya pun manggut-manggut mendengar cerita Bapak yang berumur sekitar 40an tahun itu.

“Mbak kuliah ya disini?” tanya Bapak itu kemudian.

“Oh, tidak pak…saya ikut pelatihan jurnalistik di Udinus, saya dari Malang,” jawab saya.

“Wah…jauh-jauh dari Malang mbak…”kata Bapak itu sedikit terperangah.

“Kenapa jualannya mesti di tempat nyempil gini pak? Kalau di luar situ kan lebih laris,” tanya saya sambil mengarah ke arah jalan besar.

“Dapat tempatnya disini soalnya mbak. Lagian kalau di luar bisa kena razia satpol PP. Jalan Pemuda ini kan jantung kotanya Semarang, jadi harus bebas dari pedagang-pedagang macam saya ini,” ungkap Bapak itu.

“Bapak pernah kena razia?”

“Pernah dulu waktu belum punya tempat disini. Jualan saya diangkutin semua, tapi sekarang Alhamdulillah aman,” kata Bapak itu sambil tersenyum.

Saya menyeruput es teh saya sampai habis karena waktu yang diberi panitia akan usai. Saya mengambil beberapa pisang goreng untuk dibawa kembali ke Udinus. Setelah membayar seluruh pesanan saya, saya menunggu peserta lain sambil berbincang dengan seorang ibu tua penjual bensin. Suaminya juga sudah tua. Ibu itu mengeluh karena suaminya tidak mau narik becak.

“Bapak sudah tua, dia mudah capek, mangkanya sering tidak narik becak, itu malah tidur,” kata Ibu itu sambil melirik ke arah suaminya yang tidur di atas becaknya.

“Saya tadi sudah ditanya-tanya sama temannya mbak yang itu,” kata Ibu itu menunjuk ke arah salah satu peserta. Saya tersenyum kemudian pamit pergi mengikuti peserta lain yang telah selesai liputan.

Sekembalinya saya di kelas, saya mulai menulis reportase saya di satu lembar HVS. Judulnya; Angkringan. Liputan yang sudah saya tulis rapi itu saya kumpulkan ke moderator diskusi, Habibur Rohman dan langsung mendapat giliran pertama untuk dibacakan, karena tulisan saya yang katanya rapi. Tulisan saya itu dibacakan oleh peserta lain, Rudi Susanto, peserta dari LPM LPM Sawung Galing, Universitas Negeri Surabaya.

Bung Imam sesekali mengangguk mendengar tulisan saya dibaca. Entah itu pertanda baik atau biasa saja. 

“Seperti kata Rhoma Irama, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin,” pertanda tulisan saya sudah selesai dibaca oleh Rudi dan sontak membuat peserta lain tersenyum geli mendengar kutipan yang saya buat. Mungkin karena saya mengutip dari Rhoma Irama.

Bung Imam pun ikut tertawa kecil.

“Sudah lumayan bagus tulisannya,” kata Bung Imam membuat saya tersenyum lega.

Tulisan teman-teman saya yang lain juga dibacakan satu per satu dan dikoreksi satu per satu hingga siang hari. Setelah itu Bung Imam sedikit menyampaikan materi tentang metode dalam melakukan verifikasi.

Hampir selesai Bung Imam menjelaskan materinya, tiba-tiba kelas menjadi gaduh.

“Lha…ini pemateri kedua sudah datang, saya musti cepat berakhir ini,” kata Bung Imam mengarah pada seorang berkaos abu-abu, bertubuh besar, wajahnya seperti mengandung darah Cina, matanya sipit, rambutnya dikuncir kecil, memakai topi hijau bertulis Mongabay Indonesia.

Peserta kemudian diharap memperhatikan Bung Imam kembali sampai akhirnya pemateri pertama ini mengakhiri perjumpaannya di kelas PJTL ini. Setelah panitia memberi Bung Imam sebuah souvenir sebagai kenang-kenangan, Bung Imam diminta foto bersama.

“Nanti saya tunggu progress tulisan dari kalian. Sebaiknya bikin grup di facebook lalu posting tulisan kalian disana, kalau ada waktu luang saya akan koreksi,” begitu pesan Bung Imam hingga akhirnya Direktur Pantau itu benar-benar berlalu meninggalkan kelas.


(BERSAMBUNG)
                         
 

Comments

  1. pers = pilar ke empat demokrasi; demokrasi = mempersilahkan; mempersilahkan = irrasional bagi negara-bangsa yang percaya norma; negara itu bernama indonesia.

    Demokrasi dan pers adalah cerita. mungkin sebentuk absurditas karena lambat laun setiap orang merasa butuh; merasa gagah ketika meragukan sejarah. apa dunia butuh demokrasi? apa dunia butuh terus diwartakan agar kita tetap tau diri; tau bopengnya wajah dunia? dunia tetap memiliki cara yang mistis dan irrasional untuk membuat orang tau identitasnya, sejarahnya. pertanyaanku pada pers hari ini: mampukah kita merepresentasikan apa yang baru saja terjadi dengan tepat sebagaimana apa yang disampaikan bill ko-Fuck? mampukah pers hari ini melukiskan dan menyajikan apa yang seharusnya kita tiru, adopsi, dan kita teladani sebagai modal untuk tau siapa kita ini?

    ya, pers itu tak boleh mati. ia benda antik yang kalau di buang sayang, kalo ada juga kita bingung apa fungsinya. mungkin karena itu PJTL laku keras. hehehe

    ini kata tony blank lo. bukan saya. sumpah!

    ReplyDelete
    Replies
    1. ini semacam refleksi kekecewaan terhadap fungsi pers? hehe.
      saya masih percaya ungkapan Mark Twain:
      "there are two things that lightening the world, sun in the sky and press in the earth"

      Pers lebih kepada media, dan kita butuh media untuk tidak buta.
      Kalau merasa pers menyimpang dari apa yang diharapkan, kenapa tidak diselesaikan dengan mendirikan media sendiri? Toh apapun yang tidak sesuai dengan pers tergantung pemiliknya...

      Delete
  2. Hai El, kamu tau Nabi Besar Muhammad "buta huruf", dalam konteks sebagai penerima wahyu Al Qur'an?

    El, Re-PRESENT yang sebenar-benarnya itu ada gak? Misal nih, setelah kamu melihat saya merokok, bisa gak kamu gambarkan kembali dalam tulisan bagai mana saya merokok? Bisakah 100% akurat apa yang kamu gambarkan? Bagaimana dengan tafsir pembacamu mengenai apa yang kamu tulis mengenai cara saya merokok; sama seperti yang kamu pikirkan atau?

    Berapa persen pengetahuan, hal yang kamu tahu secara otentik, dan berapa persen yang "katanya ini, katanya itu?"

    Sesuai itu bagaimana? Atau yang "sesuai" itu yang benar-benar bisa re-present? hehehe :p

    Sejauh yg saya percaya, pers itu baik untuk mengurangi pengangguran :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

INTO THE WILD: Kisah Tragis sang Petualang Muda

Penulis: Jon Krakauer Penerjemah: Lala Herawati Dharma Penyunting: Maria M. Lubis Penerbit: Qanita Tahun: Februari, 2005 Tebal: 442 halaman “Aku ingin pergerakan dinamis, bukan kehidupan yang tenang. Aku mendambakan kegairahan, bahaya, dan kesempatan untuk mengorbankan diri bagi orang yang kucintai. Aku merasakan di dalam diriku, tumpukan energi sangat besar yang tidak menemukan penyaluran di dalam kehidupan kita yang tenang.” – Leo Tolstoy (“ Family Happines ”) Tokoh utama dalam buku non-fiksi ini adalah Christopher Johnson McCandless, seorang pemuda berusia 24 tahun yang telah merampungkan studinya di Universitas Emory pada tahun 1990. Ia adalah seorang anak dari keluarga kaya di Kota Washington, D.C. Ayahnya, Walt McCandless adalah seorang insinyur angkasa luar yang bekerja untuk perusahaan konsultan miliknya sendiri bernama User System, Inc. Mitra kerjanya adalah ibu Chris, Billie. Chris McCandless pemuda pandai. Ia lulus dengan indeks prestasi kum

Cemburu Itu Peluru

Judul: Cemburu itu Peluru Penulis: Andy Tantono, Erdian Aji, Kika Dhersy Putri, Novita Poerwanto, Oddie Frente   Penerbit: Gramedia Pustaka Utama   Tahun: 2011   Tebal: 160 halaman ISBN: 978-979-22-6868-3 DADAKU SESAK. Puisi yang kugubah sepenuh hati untukmu, kau bacakan pada sahabatku.( @Irfanaulia, via @fiksimini)     Berawal dari sebuah akun twitter @fiksimini, lima penulis antara lain Erdian Aji, Novita Poerwanto, Oddie Frente, Kika Dhersy Putry, dan Andy Tantono berhasil membawa angin segar dalam mengembangkan karya lewat benih fiksi 140 karakter. Singkat, namun ‘ledakan’nya terasa.   Lima penulis ini memiliki masing-masing ciri khas dalam menuliskan fiksinya dan hasilnya jarang mengecewakan. Ide cerita dari 140 karakter menghasilkan beragam cerita super pendek bertema cinta dan kecemburuan. Cinta dalam Cemburu itu Peluru digambarkan begitu dekat dengan realita, senyaman apa pun sengeri bagaimana pun. Cinta dalam Cemburu itu Peluru tidak hanya dimaknai se

Beasiswa LPDP: Mengeja Kemungkinan dengan Keyakinan

Setelah bertahun-tahun blog ini tidak terjamah, saya akhirnya menulis lagi. Akhir-akhir ini saya sering blogwalking tentang berbagai cerita pengirim lamaran beasiswa LPDP. Menarik dan informatif, sehingga saya pun ingin bercerita hal yang sama dengan sudut pandang saya. This is based on true story. Ini berdasarkan pengalaman saya yang mengikuti seleksi periode 3 tahun 2015 yang diselenggarakan sejak April-September. Sebelum Apply Lpdp… Saya ingin share cerita pengalaman saya apply beasiswa LPDP. Beasiswa dari pemerintah yang lagi hits di kalangan pemuda sekarang. Selama kuliah S1, saya tidak pernah punya pengalaman apply beasiswa. Pengetahuan saya seputar beasiswa juga minim. Cuma informasi beasiswa LPDP yang saya baca rigid setelah lulus S1. Saya juga sempat menghadiri seminar sosialisasi beasiswa LPDP di kampus saya. Sekedar flashback, saat pengadaan seminar tersebut ternyata ada sistem kuota yang dijalankan secara o