Skip to main content

PJTL bagian 1: Malang - Semarang

Gedung Lawang Sewu, Semarang

“Beri aku sesuatu yang sulit, dan aku akan belajar.”― Andrea Hirata


5 Desember 2012. Bus Handoyo warna hitam jurusan Semarang perlahan bergerak meninggalkan Terminal Arjosari, Malang. Pukul 8 malam. Jalanan terlihat berlumpur karena hujan yang masih saja belum berhenti sejak sore. Saya duduk dekat jendela, di sebelah Dedy Baroto Trunoyudho, Bapak Sekretariat Jendral Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Malang.

Kursi di sebelah kami, diduduki Asrur Rodzi, Sekretaris Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Inovasi Universitas Islam Negeri Malang dan Juluis Eduardo Luther Foeh, Badan Advokasi PPMI Nasional. Yah, kami berangkat berempat ke Semarang. Sesuai rencana, kami akan mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) di Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), Semarang.

Perjalanan masih memakan waktu setengah jam. Saya dan Mas Dedy, begitu saya memanggilnya berbincang tentang apa pun untuk mencairkan suasana. Kami berbicara tentang topik kampus, tentang pers mahasiswa, tentang pengalaman, tentang cita-cita…

“Kenapa kamu pengen jadi wartawan?” tanya Mas Dedy kemudian.

“Mm…soalnya aku pengen keliling Indonesia, dunia… kalau jadi wartawan ‘kan itu difasilitasi,” jawab saya lugu.

“Hahahaha…” Mas Dedy tertawa.

“Aku sudah pernah keliling sebagian Asia tanpa harus jadi wartawan. Jadi backpacker ‘kan sudah bisa keliling dunia. Aku nggak punya cita-cita jadi wartawan, meskipun selama ini aku aktif di persma (pers mahasiswa). Wartawan itu lo buruh, berhubung mereka mengandalkan intelektual, jadi mereka nggak mau disebut buruh. Kalo aku sih, pengen jadi businessman aja…” kata Mas Dedy, kemudian ia beralih pada ponselnya.

Mas Dedy memang sudah pernah keliling sebagian Asia. Thailand, Vietnam, Singapura, dan entah dimana lagi karena modal nekat menjadi anak backpacker. Saya kemudian diam. Memandang ke arah jendela. Sedikit merenung tentang cita-cita. Lalu tertidur karena bosan menunggu sampai Semarang.     

Perjalanan selama 10 jam akhirnya disudahi di sebuah terminal bernama Terboyo. Pukul 6 pagi. Badan saya terasa pegal karena tidur di kursi bus selama itu. Ini adalah pengalaman pertama saya ke Semarang. Ketiga partner laki-laki saya hanya membawa tas ransel yang tidak berat, sedangkan saya, sangat berlebihan. Bukan tas ransel atau koper, tapi saya membawa tas gunung. Berat.

Sambil menunggu mobil jemputan dari panitia PJTL, kami berjalan meninggalkan terminal Terboyo menuju jalan utama. Jaraknya hampir 1 kilometer. Hampir sampai jalan utama, sebuah mikrolet warna kopi susu mendekati kami. Itu mobil yang dicarter panitia. Di dalamnya, duduk seorang perempuan dan laki-laki. Mereka peserta PJTL juga. Farid Maulana dan Julia Hartini namanya. Datang dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Perjalanan dengan mikrolet ini lumayan jauh. Sesekali saya memandang jalanan Semarang. Hawanya, campuran antara Surabaya dan Tuban. Panas. Akhirnya, kita sampai di sebuah asrama milik IAIN Walisongo Semarang. Kami menaruh barang-barang disana. Membersihkan diri kemudian langsung bersiap-siap menuju Udinus. 

Asrama IAIN Walisongo Semarang menuju Udinus membutuhkan waktu 15 menit. Saya dan kawan-kawan baru yang ikut PJTL menaiki bus kampus milik Udinus untuk menuju kesana.

Udinus terletak disamping Gedung Pandanaran Pemerintah Kota Semarang, berdekatan dengan icon Kota Semarang yang cukup terkenal, seperti Tugu Muda dan Lawang Sewu. Letak yang strategis menurut saya.

Sampai di depan kampus Udinus, kami berjalan menuju kampus dua Udinus. Di sana, saya melihat sebuah aula yang cukup besar dengan kursi biru yang sudah ditata rapi. Sebelum masuk ruangan yang akan digunakan selama PJTL itu, panitia meminta peserta untuk melakukan registrasi di depan ruangan. Setelah registrasi, saya mendapat sebuah kaos biru tua PJTL, ID card PJTL warna kuning, map plastik hijau berisi notes, sticker, dan pin. Serta sebungkus nasi. It’s time for breakfast.      

Buku catatan PJTL yang diberi oleh panitia

Setengah jam kemudian, aula ber-AC itu mulai ramai oleh peserta PJTL. Saya duduk di sebelah Asrur, dan seorang lain dari Mataram. Muhammad Fitrah, dari LPM Sidik, IKIP Mataram. Yang tidak saya duga dari Fitrah yang sekilas terlihat cengengesan ini adalah dia seorang Pemimpin Umum di LPMnya !

Acara dimulai pukul 9 pagi. Master of Ceremony membuka agenda. Pembukaan di­set sakral oleh panitia dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Beberapa orang penting nampak hadir. Saya tahu ketika satu per satu dikenalkan sebagai orang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, orang Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah dan tak luput Pembantu Rektor III Udinus. Mereka bergantian memberi sambutan. Tidak kalah penting, Defy Firman Hakim, Sekretaris Jendral PPMI Nasional juga turut berpidato singkat.

“Saya berterima kasih kepada kawan-kawan yang hadir di PJTL kali ini. Bagi kawan-kawan persma lain yang tidak hadir dalam PJTL ini bisa menimba ilmu dari kawan-kawan yang hadir. Delegasi kota diharapkan mampu mengadakan PJTL di daerahnya masing-masing…” kata Defy cukup lebar.

Selain beberapa orang-orang penting itu, hadir pula Januar dari Komunitas Satu Atap, sebuah komunitas yang dibentuk tahun 2007 dengan tujuan mewadahi anak-anak jalanan dan kaum miskin kota. Januar memang sengaja dihadirkan oleh panita untuk memberi gambaran singkat pada peserta tentang kehidupan anak jalanan di Semarang, sesuai dengan tema PJTL ini: Bayang Semu Anak Jalanan.

Sambutan-sambutan itu pun rampung. Peserta menunggu pemateri pertama yang akan menyampaikan narrative reporting. Bukan seorang Andreas Harsono yang dijanjikan panitia jauh-jauh hari, namun orang berbeda. Perawakannya tidak tinggi besar, kulitnya sawo matang, rambutnya klemis, sambil membawa tas ransel.

Ia teman dekat Andreas Harsono…      

(Bersambung ke PJTL bagian 2: Bukan Andreas Harsono


Comments

  1. oh, ini jadi ceritanya yg di semarang...
    dan ini juga masnya yg itu...eemm
    cukup tau

    ReplyDelete
  2. @Nima: iya nima ini cerita aku dari semarang, masih bersambung lo, tunggu kelanjutannya...
    Hm, bukan. Disensor dari cerita itu mah...

    ReplyDelete
  3. IS ya yang ngisi?

    ReplyDelete
  4. ditunggu PJTL di malang ya,,,,,
    temen2 pengen belajar menulis sastrawi, , heuheuheu

    ReplyDelete
  5. tentang_yg_membawa_1_kerdus_majalah_kok_gak_ada

    ReplyDelete
  6. tentang_yg_membawa_1_kerdus_majalah_kok_gak_ada

    ReplyDelete
  7. @aris syaiful: saya cerita gambaran singkatnya ya disini, tunggu cerita selanjutnya, hehe

    @asrur rodzi: coba ditulis sbg pengalaman pribadimu saja ya, saya turut simpati kok, haha

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

INTO THE WILD: Kisah Tragis sang Petualang Muda

Penulis: Jon Krakauer Penerjemah: Lala Herawati Dharma Penyunting: Maria M. Lubis Penerbit: Qanita Tahun: Februari, 2005 Tebal: 442 halaman “Aku ingin pergerakan dinamis, bukan kehidupan yang tenang. Aku mendambakan kegairahan, bahaya, dan kesempatan untuk mengorbankan diri bagi orang yang kucintai. Aku merasakan di dalam diriku, tumpukan energi sangat besar yang tidak menemukan penyaluran di dalam kehidupan kita yang tenang.” – Leo Tolstoy (“ Family Happines ”) Tokoh utama dalam buku non-fiksi ini adalah Christopher Johnson McCandless, seorang pemuda berusia 24 tahun yang telah merampungkan studinya di Universitas Emory pada tahun 1990. Ia adalah seorang anak dari keluarga kaya di Kota Washington, D.C. Ayahnya, Walt McCandless adalah seorang insinyur angkasa luar yang bekerja untuk perusahaan konsultan miliknya sendiri bernama User System, Inc. Mitra kerjanya adalah ibu Chris, Billie. Chris McCandless pemuda pandai. Ia lulus dengan indeks prestasi kum

Cemburu Itu Peluru

Judul: Cemburu itu Peluru Penulis: Andy Tantono, Erdian Aji, Kika Dhersy Putri, Novita Poerwanto, Oddie Frente   Penerbit: Gramedia Pustaka Utama   Tahun: 2011   Tebal: 160 halaman ISBN: 978-979-22-6868-3 DADAKU SESAK. Puisi yang kugubah sepenuh hati untukmu, kau bacakan pada sahabatku.( @Irfanaulia, via @fiksimini)     Berawal dari sebuah akun twitter @fiksimini, lima penulis antara lain Erdian Aji, Novita Poerwanto, Oddie Frente, Kika Dhersy Putry, dan Andy Tantono berhasil membawa angin segar dalam mengembangkan karya lewat benih fiksi 140 karakter. Singkat, namun ‘ledakan’nya terasa.   Lima penulis ini memiliki masing-masing ciri khas dalam menuliskan fiksinya dan hasilnya jarang mengecewakan. Ide cerita dari 140 karakter menghasilkan beragam cerita super pendek bertema cinta dan kecemburuan. Cinta dalam Cemburu itu Peluru digambarkan begitu dekat dengan realita, senyaman apa pun sengeri bagaimana pun. Cinta dalam Cemburu itu Peluru tidak hanya dimaknai se

Beasiswa LPDP: Mengeja Kemungkinan dengan Keyakinan

Setelah bertahun-tahun blog ini tidak terjamah, saya akhirnya menulis lagi. Akhir-akhir ini saya sering blogwalking tentang berbagai cerita pengirim lamaran beasiswa LPDP. Menarik dan informatif, sehingga saya pun ingin bercerita hal yang sama dengan sudut pandang saya. This is based on true story. Ini berdasarkan pengalaman saya yang mengikuti seleksi periode 3 tahun 2015 yang diselenggarakan sejak April-September. Sebelum Apply Lpdp… Saya ingin share cerita pengalaman saya apply beasiswa LPDP. Beasiswa dari pemerintah yang lagi hits di kalangan pemuda sekarang. Selama kuliah S1, saya tidak pernah punya pengalaman apply beasiswa. Pengetahuan saya seputar beasiswa juga minim. Cuma informasi beasiswa LPDP yang saya baca rigid setelah lulus S1. Saya juga sempat menghadiri seminar sosialisasi beasiswa LPDP di kampus saya. Sekedar flashback, saat pengadaan seminar tersebut ternyata ada sistem kuota yang dijalankan secara o