Skip to main content

PJTL bagian 2: Bukan Andreas Harsono


Cerita sebelumnya klik PJTL bagian I: Malang –Semarang 

Imam Shofwan (diambil dari facebook)
“Ketika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara” – Seno Gumira Ajidarma

Bung Imam, begitu saya memanggilnya. Peserta yang lain, ada yang memanggilnya Mas Imam, Pak Imam, Om Imam. Panggilan terakhir yang kurang sesuai sepertinya. Nama lengkapnya Imam Shofwan. 

Beliau diperkenalkan oleh Habibur Rohman, moderator diskusi Narrative Reporting, sebagai Direktur Pantau, sebuah lembaga yang memiliki tujuan untuk meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia. Namun Bung Imam sendiri mengenalkan dirinya sebagai seorang freelance writer (penulis lepas).

Ia lulusan IAIN Walisongo Semarang tahun 2003. Tinggal di Jakarta tapi berasal dari Pati, Jawa Tengah. Pernah menjadi reporter Majalah Syir’ah, sebuah majalah yang mengambil sudut pandang Islam. Pada tahun 2008, Bung Imam menjadi penulis sekaligus editor di korbanlumpur.info, sebuah situs web yang meliput informasi tentang lumpur Lapindo, Sidoarjo.

Menarik! Pikir saya seketika. Bung Imam ternyata pernah bekerja di Porong, di tempat saya tinggal, dan saya sama sekali tidak tahu menahu. Saya pun tidak tahu ada situs khusus tentang lumpur Lapindo. Benar-benar apatis memang.

Sebelum memulai materinya, Bung Imam meminta panitia PJTL menata kursi ‘kelas’ menjadi format U. Satu per satu peserta juga diminta mengenalkan diri, mulai dari nama lengkap, nama panggilan, asal, tempat kuliah, dari LPM mana, dan yang terakhir motivasi ikut PJTL ini. Selain untuk menambah wawasan jurnalistik, sebagian peserta memiliki motivasi yang sama dengan saya. Ingin bertemu Andreas Harsono.

“Andreas memang kebetulan tidak bisa hadir dalam PJTL ini karena dia sekarang di California, dan saya yang menggantikannya disini. Untuk yang ingin ketemu tapi ga kesampaian, bisa saya salamkan. Saya catat satu per satu namanya yang nitip salam…” kata Bung Imam sambil mengeluarkan kertas dan bolpoin.

Peserta akhirnya terhibur sendiri dengan Bung Imam. Setelah satu per satu memperkenalkan diri, dan sebagian yang meminta dicatat namanya untuk disampaikan salamnya ke Bung Andreas, termasuk saya, Bung Imam memulai materinya. Ia membuka slide materi di power point.

NARRATIVE REPORTING was started …

Saya belum pernah mendengar istilah narrative reporting sebelumnya. Pada dasarnya narrative reporting ini tidak lepas dari 5W+1H seperti menulis berita pada umumnya, namun 5W+1H disini digali lebih dalam sehingga bisa membentuk karakter cerita. Narrative reporting yang saya tangkap adalah istilah asing dari jurnalisme sastrawi.

Penulisan narrative reporting lebih mendalam daripada indepth reporting. Jika diibaratkan gunung es, penulisan narrative reporting tidak sekedar melaporkan informasi dari puncak sampai ke tengah, melainkan hingga ke dalam bumi. Bedanya lagi dengan indepth reporting, genre narrative reporting menggunakan kalimat yang variatif hampir seperti sastra, namun tidak puitis.

“Ada karakter penokohan, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik. Penulisan narrative reporting atau jurnalisme sastrawi hampir seperti menulis jalan cerita drama, namun tidak mendramatisir, tidak berlebihan, dan tidak klise seperti karya sastra pada umumnya. Kalau merah ya dibilang merah, kalau putih ya dibilang putih,” jelas Bung Imam di depan peserta, sambil memainkan sedotan air minum.

Bung Imam saat menjelaskan materi (6 Desember 2012)
Narrative reporting atau jurnalisme sastrawi berbeda dengan liputan yang dilakukan wartawan harian koran atau online, karena liputan narrative reporting menggunakan struktur scene by scene, reportase menyeluruh, menggunakan sudut pandang orang ketiga dan penuh detail. Tidak seperti berita biasanya yang menggunakan piramida terbalik, yang penting didahulukan, dan yang tidak penting bisa dihapus.

Membuatnya, diperlukan waktu yang tidak sebentar. Wawancara bisa dengan puluhan bahkan ratusan narasumber. Tulisan jurnalisme sastrawi yang terkenal adalah Hiroshima, karya John Hersey.

“Lantas, mengapa jenis jurnalisme seperti ini kurang popular di Indonesia?” tanya Bung Imam kemudian membuat peserta bingung dan memutuskan untuk diam.

Slide power point Bung Imam menunjukkan jawabannya. Berawal dari putusnya hubungan media yang dicetuskan oleh Tirto Adisurjo, F. Wiggers, H. Kommer, TioIe Soei, Marah Sutan, Mas Marco Dikromo, Kwee Kek Beng, Adi Negoro  dengan media pasca kemerdekaan milik MochtarLubis, Rosihan Anwar, Joesoef Isak, Umar Said, serta L.E. Manuhua.

Akhirnya, Indonesia tidak punya sejarah jurnalisme panjang dan belum pernah punya majalah atau harian yang secara sadar menggunakan narasi sebagai tulang punggung cerita. Tidak banyak wartawan yang bisa dan biasa menulis 15.000 kata. Kebanyakan mereka menulis 1000-2000 kata.

Ideologi pemilik media saat ini juga berpengaruh pada kualitas wartawan. Kecepatan update informasi pada media elektronik seperti radio, televisi, dan media online membuat wartawan terdidik berpikir cepat dan kurang memperhatikan akurasi liputannya.

Bung Imam terus menjelaskan bagaimana jurnalisme sastrawi dibuat. Ia juga memberi contoh beberapa tulisan yang menerapkan jurnalisme sastrawi. Salah satunya adalah buku “A9ama Saya Adalah Jurnalisme” karya Andreas Harsono. Buku berwarna merah darah ini sudah pernah saya baca sebelumnya, sehingga saya punya bayangan bagaimana penulisan narrative reporting itu.

Waktunya eksekusi !

Peserta diminta membentuk kelompok terdiri dari tiga orang. Per kelompok akan disebar ke seluruh wilayah kampus Udinus untuk liputan. Saya satu kelompok dengan satu perempuan dan satu laki-laki yang saya lupa nama keduanya. Kami kelompok dua, ditugaskan untuk membuat narrative reporting dari Kantin Udinus. Kami diantar oleh salah satu panitia.

Sesampai kantin yang didominasi warna merah menyala itu, kami duduk di salah satu bangku untuk berdiskusi sebentar. Lalu kami memutuskan untuk membagi tugas. Kedua teman saya akan wawancara beberapa mahasiswa yang nampak merokok sambil bermain kartu dan saya akan menghampiri beberapa perempuan berseragam pekerja kantin yang sedang membuat kardus.

Perempuan-perempuan itu tercengang melihat kehadiran saya…

(Bersambung ke PJTL bagian 3: Kedai Merah)

                      

Comments

Popular posts from this blog

INTO THE WILD: Kisah Tragis sang Petualang Muda

Penulis: Jon Krakauer Penerjemah: Lala Herawati Dharma Penyunting: Maria M. Lubis Penerbit: Qanita Tahun: Februari, 2005 Tebal: 442 halaman “Aku ingin pergerakan dinamis, bukan kehidupan yang tenang. Aku mendambakan kegairahan, bahaya, dan kesempatan untuk mengorbankan diri bagi orang yang kucintai. Aku merasakan di dalam diriku, tumpukan energi sangat besar yang tidak menemukan penyaluran di dalam kehidupan kita yang tenang.” – Leo Tolstoy (“ Family Happines ”) Tokoh utama dalam buku non-fiksi ini adalah Christopher Johnson McCandless, seorang pemuda berusia 24 tahun yang telah merampungkan studinya di Universitas Emory pada tahun 1990. Ia adalah seorang anak dari keluarga kaya di Kota Washington, D.C. Ayahnya, Walt McCandless adalah seorang insinyur angkasa luar yang bekerja untuk perusahaan konsultan miliknya sendiri bernama User System, Inc. Mitra kerjanya adalah ibu Chris, Billie. Chris McCandless pemuda pandai. Ia lulus dengan indeks prestasi kum

Cemburu Itu Peluru

Judul: Cemburu itu Peluru Penulis: Andy Tantono, Erdian Aji, Kika Dhersy Putri, Novita Poerwanto, Oddie Frente   Penerbit: Gramedia Pustaka Utama   Tahun: 2011   Tebal: 160 halaman ISBN: 978-979-22-6868-3 DADAKU SESAK. Puisi yang kugubah sepenuh hati untukmu, kau bacakan pada sahabatku.( @Irfanaulia, via @fiksimini)     Berawal dari sebuah akun twitter @fiksimini, lima penulis antara lain Erdian Aji, Novita Poerwanto, Oddie Frente, Kika Dhersy Putry, dan Andy Tantono berhasil membawa angin segar dalam mengembangkan karya lewat benih fiksi 140 karakter. Singkat, namun ‘ledakan’nya terasa.   Lima penulis ini memiliki masing-masing ciri khas dalam menuliskan fiksinya dan hasilnya jarang mengecewakan. Ide cerita dari 140 karakter menghasilkan beragam cerita super pendek bertema cinta dan kecemburuan. Cinta dalam Cemburu itu Peluru digambarkan begitu dekat dengan realita, senyaman apa pun sengeri bagaimana pun. Cinta dalam Cemburu itu Peluru tidak hanya dimaknai se

Beasiswa LPDP: Mengeja Kemungkinan dengan Keyakinan

Setelah bertahun-tahun blog ini tidak terjamah, saya akhirnya menulis lagi. Akhir-akhir ini saya sering blogwalking tentang berbagai cerita pengirim lamaran beasiswa LPDP. Menarik dan informatif, sehingga saya pun ingin bercerita hal yang sama dengan sudut pandang saya. This is based on true story. Ini berdasarkan pengalaman saya yang mengikuti seleksi periode 3 tahun 2015 yang diselenggarakan sejak April-September. Sebelum Apply Lpdp… Saya ingin share cerita pengalaman saya apply beasiswa LPDP. Beasiswa dari pemerintah yang lagi hits di kalangan pemuda sekarang. Selama kuliah S1, saya tidak pernah punya pengalaman apply beasiswa. Pengetahuan saya seputar beasiswa juga minim. Cuma informasi beasiswa LPDP yang saya baca rigid setelah lulus S1. Saya juga sempat menghadiri seminar sosialisasi beasiswa LPDP di kampus saya. Sekedar flashback, saat pengadaan seminar tersebut ternyata ada sistem kuota yang dijalankan secara o