Skip to main content

Selamat Datang di Kampus ‘Swasta’


Situs web 4ICU mengunggah informasi tentang peringkat universitas terbaik di Indonesia. Universitas Brawijaya, Malang menempati posisi keempat setelah Universitas Indonesia dan berhasil membawahi universitas-universitas negeri lainnya.
  
Tanda petik pada kata ‘Swasta’ tersebut pada dasarnya adalah makna denotasi dari status kampus yang saat ini sedang menggelar perhelatan akbar dalam rangka menyambut mahasiswa baru (Maba). Sebut saja Universitas Brawijaya, karena kampus berperingkat empat inilah yang akan menjadi tujuan sehari-hari puluhan ribu Maba yang sedang menelan petuah PK2 atau Ospek hari ini.

Masih hangat dalam ingatan, ketika momen daftar ulang yang wajib ditaati Maba. Sebagian besar orang tua mengeluhkan biaya yang diminta oleh pihak universitas, karena memang tidak ada nominal ratusan ribu dalam jumlah keseluruhan biaya pendidikan tersebut, melainkan jumlah yang ditawarkan adalah puluhan juta. Otomatis, orang tua pun menuruti, agar anaknya tetap bisa menikmati jamuan ilmu terbaik di universitas ini.

Mainstream tentang anggapan bahwa ‘pilihlah kampus negeri agar kualitas terjamin dan murah’ menjadi tradisi yang ditularkan orang tua ketika anak-anak mereka mulai memasuki fase pendidikan tinggi tersebut. Prestige ketika seorang lulusan SMA mampu menaklukan jutaan saingan untuk duduk di bangku perguruan tinggi negeri adalah gengsi tersendiri, sehingga ribuan mahasiswa ini pun tetap bertahan meski biaya daftar ulang universitas ini bisa dibilang mahal sekali.
  
Pilihan bertahan ini pada awalnya lagi-lagi bersumber pada opini publik yang menganggap ‘bagaimanapun universitas swasta lebih mahal’ atau ‘kualitas swasta tak sebanding dengan negeri’, menjadi keyakinan yang sulit luntur. Sehingga, berapa pun universitas negeri ini menawarkan biaya pendidikannya, orang tua Maba pun pasti menuruti. Lagi-lagi demi agar anaknya tetap bisa menikmati jamuan ilmu terbaik di universitas ini.



Tak Perlu Jual Ginjal  

Pasti Maba yang hadir dalam pagelaran Ospek sekarang adalah penikmat web browser dan sosial media yang baik, sehingga bisa diprediksi berita tentang Maba UB akan menjual ginjal demi biaya kuliahnya kapan lalu tersebar luas dalam koneksi tiada batas. Media massa pun sudah lihai bermain rating, berita ini pun akhirnya dinikmati oleh jutaan pasang mata di depan layar kaca. Opini publik pun terbentuk, universitas ini berstatus negeri, tapi layaknya swasta yang biaya pendidikannya hanya bisa dibayar orang-orang berbudget tinggi. 

Sebagian mahasiswa dalam kampus memelopori gerakan demonstrasi untuk menuntut hak junior mereka mengenyam ilmu di sini tanpa harus mengeluh tentang biaya selangit. Isu lain berhembus. Mereka atas nama kelompok tertentu yang mengaku akan menjadi wakil mahasiswa baru melakukan pencitraan untuk mengais kader. Kalau pun iya, Maba tidak perlu was-was, karena lingkungan kampus perlu dipahami agar tidak salah arah. Ingat, ilmu tidak didapat dari duduk di kelas saja.

Berpikir logika tentang mahasiswa yang menjual ginjal demi biaya kuliah, pasti memberikan variasi pemikiran tentang fenomena ini. Apa iya mereka berani menjual ginjal demi kuliah di universitas ini? Apa mereka tidak berpikir dampak kesehatan setelahnya? atau tidak adakah ancaman yang lebih bijak selain menjual ginjal?   

Alternatif pendidikan yang disediakan oleh orang-orang intelek di Indonesia ini sebenarnya banyak sekali dan tidak menutup kemungkinan kualitasnya sebanding bahkan lebih tinggi dari universitas negeri. Jadi, tidak perlu menjual ginjal untuk kuliah di Universitas Brawijaya. Toh ke depannya, universitas negeri ini tidak bisa menjamin banyak tentang masa depan sukses, pekerjaan mapan, dan prestige yang sama tinggi.

Sampaikan saja ke rekan-rekanmu yang hanya bisa gigit jari, mundur dari istana Brawijaya karena terlalu ‘megah’ untuk terus mengenyam pendidikan dimanapun. Sampaikan juga, universitas ini tidak bisa menjanjikan keringanan dan penundaan berlebih. Negeri tidak selamanya murah. Kemudian, denotasi ‘Swasta’ pada judul di atas berarti nyata. Layaknya biaya pendidikan di perguruan tinggi swasta, universitas negeri ini pun meminta bayaran tinggi dari anak didiknya. Semoga petinggi-petinggi kampus mampu memanajemen uang dengan baik.


Gambar diambil dari Katalog Kartunesia


Menikmati Peluang dengan Baik 

Mengeluhkan biaya pendidikan di awal tidak ada artinya jika Maba tidak bisa memanfaatkan kesempatan untuk duduk manis di salah satu bangku Brawijaya dengan baik. Bangga ketika kampus ini menampilkan atraksi-atraksi memukau selama Ospek tidak bisa menjadi ukuran kebanggan selanjutnya, jika Maba tetap terpaku memuja-mujanya sehingga tidak mau bergerak maju untuk menciptakan kebanggaan dari diri sendiri.

Menjadi mahasiswa yang kurang aktif di dunia organisasi adalah contoh kecil Maba yang tidak bisa menikmati peluang dengan baik. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, ilmu tidak dibatasi di bangku kelas saja. Cari informasi sebanyak-banyaknya tentang kampus kebanggaan ini, belajar menanyakan tentang apa saja yang terjadi. 

Akhirnya, selamat menikmati jerih payah bapak-ibu kalian di Kerajaan Brawijaya. Lebih baik sengsara membalas budi baik mereka daripada leyeh-leyeh setelah menikmati tahta di dalamnya.
  

Opini ini telah diterbitkan dalam Jurnal PKK Maba 2013 Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (LPM Kavling 10) Universitas Brawijaya Edisi 4 September 2013

Comments

  1. nah, bisa jadi bisa jadi, Hasil dari 15.000 maba seharusnya terlihat dari aktivitas mahasiswanya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya betul nim. Kampus kita sarat mobil-mobil kece nan mengkilat tapi mahasiswanya rata2 kupu-kupu, ga aktif organisasi. Cupu, haha

      Delete
  2. wah..wah.. kakak ini anak LPM Kavling 10.. salam kenal ya..
    saya dari LPM DeDIKASI _STAIN Kediri...

    sip.. ngeblok-asyik.blogspot.com (ini blog personalku)..
    salam kenal, ..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal juga Agha,
      oke, nanti aku mampir...
      terima kasih sudah berkunjung :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

INTO THE WILD: Kisah Tragis sang Petualang Muda

Penulis: Jon Krakauer Penerjemah: Lala Herawati Dharma Penyunting: Maria M. Lubis Penerbit: Qanita Tahun: Februari, 2005 Tebal: 442 halaman “Aku ingin pergerakan dinamis, bukan kehidupan yang tenang. Aku mendambakan kegairahan, bahaya, dan kesempatan untuk mengorbankan diri bagi orang yang kucintai. Aku merasakan di dalam diriku, tumpukan energi sangat besar yang tidak menemukan penyaluran di dalam kehidupan kita yang tenang.” – Leo Tolstoy (“ Family Happines ”) Tokoh utama dalam buku non-fiksi ini adalah Christopher Johnson McCandless, seorang pemuda berusia 24 tahun yang telah merampungkan studinya di Universitas Emory pada tahun 1990. Ia adalah seorang anak dari keluarga kaya di Kota Washington, D.C. Ayahnya, Walt McCandless adalah seorang insinyur angkasa luar yang bekerja untuk perusahaan konsultan miliknya sendiri bernama User System, Inc. Mitra kerjanya adalah ibu Chris, Billie. Chris McCandless pemuda pandai. Ia lulus dengan indeks prestasi kum

Cemburu Itu Peluru

Judul: Cemburu itu Peluru Penulis: Andy Tantono, Erdian Aji, Kika Dhersy Putri, Novita Poerwanto, Oddie Frente   Penerbit: Gramedia Pustaka Utama   Tahun: 2011   Tebal: 160 halaman ISBN: 978-979-22-6868-3 DADAKU SESAK. Puisi yang kugubah sepenuh hati untukmu, kau bacakan pada sahabatku.( @Irfanaulia, via @fiksimini)     Berawal dari sebuah akun twitter @fiksimini, lima penulis antara lain Erdian Aji, Novita Poerwanto, Oddie Frente, Kika Dhersy Putry, dan Andy Tantono berhasil membawa angin segar dalam mengembangkan karya lewat benih fiksi 140 karakter. Singkat, namun ‘ledakan’nya terasa.   Lima penulis ini memiliki masing-masing ciri khas dalam menuliskan fiksinya dan hasilnya jarang mengecewakan. Ide cerita dari 140 karakter menghasilkan beragam cerita super pendek bertema cinta dan kecemburuan. Cinta dalam Cemburu itu Peluru digambarkan begitu dekat dengan realita, senyaman apa pun sengeri bagaimana pun. Cinta dalam Cemburu itu Peluru tidak hanya dimaknai se

Beasiswa LPDP: Mengeja Kemungkinan dengan Keyakinan

Setelah bertahun-tahun blog ini tidak terjamah, saya akhirnya menulis lagi. Akhir-akhir ini saya sering blogwalking tentang berbagai cerita pengirim lamaran beasiswa LPDP. Menarik dan informatif, sehingga saya pun ingin bercerita hal yang sama dengan sudut pandang saya. This is based on true story. Ini berdasarkan pengalaman saya yang mengikuti seleksi periode 3 tahun 2015 yang diselenggarakan sejak April-September. Sebelum Apply Lpdp… Saya ingin share cerita pengalaman saya apply beasiswa LPDP. Beasiswa dari pemerintah yang lagi hits di kalangan pemuda sekarang. Selama kuliah S1, saya tidak pernah punya pengalaman apply beasiswa. Pengetahuan saya seputar beasiswa juga minim. Cuma informasi beasiswa LPDP yang saya baca rigid setelah lulus S1. Saya juga sempat menghadiri seminar sosialisasi beasiswa LPDP di kampus saya. Sekedar flashback, saat pengadaan seminar tersebut ternyata ada sistem kuota yang dijalankan secara o