Ini adalah buku terakhir Rusdi Mathari, sebelum wartawan senior itu wafat
pada Jumat, 2 Maret 2018. Buku ini ia tulis di sela-sela rasa ngilu pada
punggungnya akibat tumor dan kanker yang menggerus susunan tulangnya. Seperti Roda Berputar semakin meneguhkan bahwa tak banyak penulis
yang tekun seperti Cak Rusdi, apalagi tetap istiqomah mengetik di titik
lemah hidupnya.
Awal cerita pada bab “Di Rumah Sakit”, Cak Rusdi bercerita riwayat penyakitnya. Sebelum tumor dan kanker, ia pernah masuk rumah sakit akibat tifus. Dua tahun setelahnya, sebulan setelah menikah, hemoroid atau wasir membuat anusnya bengkak dan terpaksa dilarikan ke RS Kartika Pulomas. Medio 2016, Cak Rusdi kembali ke rumah sakit karena benjolan yang menyebabkan nyeri di sekitar leher dan punggung. Ternyata, nyeri tersebut berasal dari tumor dan kanker yang kemudian coba ia lawan selama tiga bulan.
Semakin hari, tumor dan kanker itu rupanya tak hanya merongrong kesehatan Cak Rusdi, tapi juga menguras tabungannya. Biaya pengobatan menembus angka ratusan juta rupiah. Tiada pilihan, ia dan istrinya pun memutuskan memakai kartu BPJS kesehatan. Menjadi seorang pasien BPJS, nyatanya membuat kondisi Cak Rusdi makin runyam.
Seluruh pasien BPJS dituntut patuh pada prosedur dan birokrasi. Di saat kanker menggerogoti tubuh Cak Rusdi dengan cepat, proses penyembuhannya tidak bisa dilakukan dengan sigap. Bayangkan, saat ia mendaftarkan diri untuk periksa, dua bulan kemudian ia baru bisa bertemu dokter. Alasannya, satu dokter hanya sanggup memeriksa 20 pasien. Ia hanya bisa pasrah.
Di sela-sela rasa sakitnya, Cak Rusdi tetap berusaha menulis dengan gajet. Ia juga tetap berkoordinasi dengan Prima Sulistya, pemegang kendali redaksi di Mojok.co, soal naskah yang akan diterbitkan. Fragmen-fragmen obrolan Cak Rusdi dengan Prima Sulistya pun disertakan dalam buku ini.
Setelah obrolan singkat-singkat via whatsapp itu, artikel “Seperti Roda Berputar” diunggah mojok.co pada 16 Oktober 2017. Ini adalah sebagian tulisan yang dicatat Cak Rusdi selama ia dirawat yang kemudian turut disertakan dalam buku ini (hlm 21-27). Awalnya, Cak Rusdi memberi judul “Seperti Balon Mengkerut”, tapi, menyuntingnya.
Balon mengkerut, begitu Cak Rusdi mengibaratkan kulit di bokongnya yang makin kendur, sebab tiada lagi otot-otot menempel. Selama dirawat di rumah sakit tentara, kondisi Cak Rusdi tak berangsur baik. Tulang punggungnya makin bengkok, pundaknya makin tak simetris, hingga ia tak mampu jalan kaki. Bahkan, duduk pun ia butuh sandaran. Perawat akhirnya memasang gelang berstiker kuning pada tangan Cak Rusdi, tanda bahwa Cak Rusdi adalah pasien yang harus diperlakukan ekstra hati-hati.
Kutipan-kutipan bikinan Cak Rusdi dalam buku ini kerap membuat hati pembacanya bergetar. Narasi yang dituliskan Cak Rusdi sangat detail pada tiap babnya. Pembaca dibuat membayangkan, bagaimana bila berada pada posisinya. Vonis tumor dan kanker pada punggung Cak Rusdi membuatnya sangat terkejut. Dalam buku ini Cak Rusdi menuliskan pergolakan batinnya, bagaimana ia berusaha sekuat hati berdamai dengan penyakitnya.
Saat divonis kanker, Cak Rusdi belajar dari kisah Ali Banat, pengusaha muda keturunan Arab yang lahir dan tumbuh di Sydney, Australia. Ali Banat yang kaya raya itu rela mendermakan mobil, kacamata, jam tangan seharga ratusan juta pada anak-anak Afrika. Ali tersadar saat ziarah ke kuburan kawannya yang meninggal akibat kanker. Bahwa tiada yang bisa dibawa setelah mati kecuali perbuatan baik semasa hidup. Cak Rusdi ingin mengingatkan pembacanya soal kematian yang pasti datang, namun dengan gaya bahasa yang jauh dari kesan menceramahi.
Selama sakit, Cak Rusdi tak hanya bercerita tentang tumor dan kanker yang makin membuatnya rapuh, tapi juga bagaimana pengalamannya selama berada di rumah sakit. Ia menggambarkan bagaimana susahnya menjadi pasien BPJS di saat tumor dan kanker yang dideritanya tidak bisa ditoleransi.
Saat berada di rumah sakit tentara, Cak Rusdi menceritakan bagaimana perawat dan dokter memperlakukannya, serta bagaimana sistem kerja pekerja kesehatan tersebut. Ia juga tak segan-segan menumpahkan kritik pada dokter yang memeriksanya. Sebelum ditutup epilog oleh Puthut EA, pada lembaran hitam, penerbit menuliskan bagaimana detik-detik Cak Rusdi wafat. Halaman ini yang menurut saya paling mengharukan.
Cak Rusdi mengandalkan seluruh inderanya dan hatinya selama menulis. Tumor dan kanker nyatanya tidak mampu menghentikan kekuatan Cak Rusdi untuk tetap mengetik di gajet. Meski susah payah, Cak Rusdi berusaha teguh pada profesinya sebagai penulis. Usaha Cak Rusdi tak sia-sia. Menurut saya, buku ini berhasil menjadi tamparan bagi kita yang masih diberi nikmat kesehatan untuk tetap berkarya.
Akhir kata, epilog Puthut EA cukup jadi bukti untuk menyebut Cak Rusdi adalah orang baik. Dan hanya orang baik yang meninggalkan dunia ini dengan suka cita.
Judul: Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit
Penulis: Rusdi Mathari
Penyunting: Prima Sulistya
Penerbit: Buku Mojok
Tebal: x + 78 hlm
Saya harus mengetik, harus bertahan dan hidup. Menulis adalah pekerjaan saya. Karena itu saya mencoba menulis menggunakan gajet, meskipun hanya dengan satu jari. Tangan kiri memegang gajet, jempol tangan kanan mengetik (hlm. 59).
***
Malam tahun baru 2017, Cak Rusdi berupaya menerima kehadiran ‘tamu’ yang
tidak pernah ia inginkan. Ia divonis mengidap tumor dan kanker, bersarang
di punggung dan lehernya. Padahal, Cak Rusdi merasa telah menerapkan gaya
hidup sehat. Ia mengaku, rajin berolahraga, selalu fit, dan nyaris tidak
pernah sakit atau kelelahan (hlm. 3). Namun, pada pertengahan 2016,
anggapannya dimentahkan oleh hasil MRI yang menunjukkan tiga ruas tulang
punggungnya telah hancur disergap kanker (hlm. 12).Awal cerita pada bab “Di Rumah Sakit”, Cak Rusdi bercerita riwayat penyakitnya. Sebelum tumor dan kanker, ia pernah masuk rumah sakit akibat tifus. Dua tahun setelahnya, sebulan setelah menikah, hemoroid atau wasir membuat anusnya bengkak dan terpaksa dilarikan ke RS Kartika Pulomas. Medio 2016, Cak Rusdi kembali ke rumah sakit karena benjolan yang menyebabkan nyeri di sekitar leher dan punggung. Ternyata, nyeri tersebut berasal dari tumor dan kanker yang kemudian coba ia lawan selama tiga bulan.
Semakin hari, tumor dan kanker itu rupanya tak hanya merongrong kesehatan Cak Rusdi, tapi juga menguras tabungannya. Biaya pengobatan menembus angka ratusan juta rupiah. Tiada pilihan, ia dan istrinya pun memutuskan memakai kartu BPJS kesehatan. Menjadi seorang pasien BPJS, nyatanya membuat kondisi Cak Rusdi makin runyam.
Seluruh pasien BPJS dituntut patuh pada prosedur dan birokrasi. Di saat kanker menggerogoti tubuh Cak Rusdi dengan cepat, proses penyembuhannya tidak bisa dilakukan dengan sigap. Bayangkan, saat ia mendaftarkan diri untuk periksa, dua bulan kemudian ia baru bisa bertemu dokter. Alasannya, satu dokter hanya sanggup memeriksa 20 pasien. Ia hanya bisa pasrah.
Cak Rusdi adalah satu di antara puluhan pasien yang antre untuk diperiksa dokter ortopedi. Siapa pun yang membaca cerita ini mungkin tak sampai hati, termasuk kawan karib Cak Rusdi yang amat geram dengan treatment yang didapatkan pasien BPJS. Tanpa basa-basi, Cak Rusdi dibawanya ke rumah sakit tentara. Rumah sakit ini yang menjadi tempat istirahat Cak Rusdi hingga 10 minggu lamanya.Sekali lagi, saya dan istri tak punya pilihan. Saya mulai tertatih untuk berjalan. Nyeri di tulang belakang semakin menyakitkan. Saya hanya bisa telentang (hlm. 16).
Di sela-sela rasa sakitnya, Cak Rusdi tetap berusaha menulis dengan gajet. Ia juga tetap berkoordinasi dengan Prima Sulistya, pemegang kendali redaksi di Mojok.co, soal naskah yang akan diterbitkan. Fragmen-fragmen obrolan Cak Rusdi dengan Prima Sulistya pun disertakan dalam buku ini.
Setelah obrolan singkat-singkat via whatsapp itu, artikel “Seperti Roda Berputar” diunggah mojok.co pada 16 Oktober 2017. Ini adalah sebagian tulisan yang dicatat Cak Rusdi selama ia dirawat yang kemudian turut disertakan dalam buku ini (hlm 21-27). Awalnya, Cak Rusdi memberi judul “Seperti Balon Mengkerut”, tapi, menyuntingnya.
Balon mengkerut, begitu Cak Rusdi mengibaratkan kulit di bokongnya yang makin kendur, sebab tiada lagi otot-otot menempel. Selama dirawat di rumah sakit tentara, kondisi Cak Rusdi tak berangsur baik. Tulang punggungnya makin bengkok, pundaknya makin tak simetris, hingga ia tak mampu jalan kaki. Bahkan, duduk pun ia butuh sandaran. Perawat akhirnya memasang gelang berstiker kuning pada tangan Cak Rusdi, tanda bahwa Cak Rusdi adalah pasien yang harus diperlakukan ekstra hati-hati.
Cak Rusdi termasuk orang beruntung, begitu Puthut EA menulis pada epilog buku ini. Satu tahun sakit, banyak sekali uluran tangan berbagai pihak kepada Cak Rusdi, termasuk orang-orang yang pernah berseberangan dengannya. Puthut kemudian merenung, bagaimana bila kita mengalami hal itu? Cukupkah daya dukung sosial kita? Siapkah kita jika suatu saat sakit dalam waktu yang panjang?Untuk hilir mudik dari ranjang ke kamar mandi saya harus dibopong oleh paling sedikit dua orang dengan kaki terseret-seret. Bersyukur banyak kawan yang rela menjaga saya, terutama dari Komunitas Kretek, beberapa mahasiswa, dan pesantren. Mereka rutin bergiliran menginap menemani saya (hlm. 25-26).
•••
“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.”
Kutipan-kutipan bikinan Cak Rusdi dalam buku ini kerap membuat hati pembacanya bergetar. Narasi yang dituliskan Cak Rusdi sangat detail pada tiap babnya. Pembaca dibuat membayangkan, bagaimana bila berada pada posisinya. Vonis tumor dan kanker pada punggung Cak Rusdi membuatnya sangat terkejut. Dalam buku ini Cak Rusdi menuliskan pergolakan batinnya, bagaimana ia berusaha sekuat hati berdamai dengan penyakitnya.
Saat divonis kanker, Cak Rusdi belajar dari kisah Ali Banat, pengusaha muda keturunan Arab yang lahir dan tumbuh di Sydney, Australia. Ali Banat yang kaya raya itu rela mendermakan mobil, kacamata, jam tangan seharga ratusan juta pada anak-anak Afrika. Ali tersadar saat ziarah ke kuburan kawannya yang meninggal akibat kanker. Bahwa tiada yang bisa dibawa setelah mati kecuali perbuatan baik semasa hidup. Cak Rusdi ingin mengingatkan pembacanya soal kematian yang pasti datang, namun dengan gaya bahasa yang jauh dari kesan menceramahi.
Selama sakit, Cak Rusdi tak hanya bercerita tentang tumor dan kanker yang makin membuatnya rapuh, tapi juga bagaimana pengalamannya selama berada di rumah sakit. Ia menggambarkan bagaimana susahnya menjadi pasien BPJS di saat tumor dan kanker yang dideritanya tidak bisa ditoleransi.
Saat berada di rumah sakit tentara, Cak Rusdi menceritakan bagaimana perawat dan dokter memperlakukannya, serta bagaimana sistem kerja pekerja kesehatan tersebut. Ia juga tak segan-segan menumpahkan kritik pada dokter yang memeriksanya. Sebelum ditutup epilog oleh Puthut EA, pada lembaran hitam, penerbit menuliskan bagaimana detik-detik Cak Rusdi wafat. Halaman ini yang menurut saya paling mengharukan.
Cak Rusdi mengandalkan seluruh inderanya dan hatinya selama menulis. Tumor dan kanker nyatanya tidak mampu menghentikan kekuatan Cak Rusdi untuk tetap mengetik di gajet. Meski susah payah, Cak Rusdi berusaha teguh pada profesinya sebagai penulis. Usaha Cak Rusdi tak sia-sia. Menurut saya, buku ini berhasil menjadi tamparan bagi kita yang masih diberi nikmat kesehatan untuk tetap berkarya.
Akhir kata, epilog Puthut EA cukup jadi bukti untuk menyebut Cak Rusdi adalah orang baik. Dan hanya orang baik yang meninggalkan dunia ini dengan suka cita.
“…hidup manusia memang harus berakhir, demikian pula dengan hidup saya. Tidakkah selain kelahiran, salah satu perayaan terbesar manusia adalah kematian?”
Penulis: Rusdi Mathari
Penyunting: Prima Sulistya
Penerbit: Buku Mojok
Tebal: x + 78 hlm
Comments
Post a Comment