Sebelumnya, aku telah menceritakan tentang organisasi yang menjadi kesibukanku selain mengenyam mata kuliah di kampusku. Yah, Unit Aktivitas Pers Kampus UB, yang lebih dikenal dengan kavling 10.
Hampir setahun. Agenda diskusiku di kavling yang pada awalnya hanya tiba di setiap hari jumat, kini menjadi setiap hari. Bukan diskusi lagi pada tepatnya, namun lebih formal disebut rapat. Bukan lagi rapat yang diikuti oleh semua anggota, namun diikuti oleh pengurus internal kavling 10. Yah, benar, aku telah menjadi pengurus. Dipilih langsung oleh Pemimpin Umum, aku yang belum setahun berkontribusi di organisasi ini, diberi kepercayaan untuk meng-handle media. ‘Kavling 10’ nama media itu. Media yang baru pertama kali dilahirkan di kepengurusan kali ini. Media berbentuk bulletin, didistribusikan ke seluruh fakultas setiap dua bulan sekali.
Hari pertama pasca menyandang jabatan berat sebagai pemimpin redaksi, dengan bekal pas-pasan, rapat redaksi perdana aku laksanakan. Tema yang ku usung , tak jauh-jauh dari kehidupan kampusku. Tentang eksistensi organisasi. Latar belakangnya, organisasi yang ada di kampus, yang berjumlah puluhan, tak mampu menyerap sumber daya manusia sebanyak mungkin dari sekian puluh ribu mahasiswa. Itu pun tidak lepas dari berbagai faktor internal maupun eksternal. Faktor internal, disebabkan dari masing-masing individu mahasiswa yang tak berminat menerjunkan diri dalam lingkup organisasi. Faktor eksternal, tak lepas dari pengaruh jeratan akademik yang membuat mahasiswa terpaksa menanggalkan kesibukan lain demi fokus untuk segera mengakhiri masa studi. Karena organisasi merupakan organ tubuh terpenting dalam suatu kampus, maka dengan diterbitkannya media perdana ‘kavling 10’, diharapkan mahasiswa lebih peka akan lingkup sosial mereka, sehingga nadi organisasi di kampus biru ini akan tetap berdenyut hingga kemudian.
Kembali ke inti post ini, selama kurun waktu 2 bulan penyelesaian media ‘kavling 10’, semua tak berjalan lancar seperti jalan tol yang bebas hambatan. Mulai dari permasalahan internal media sendiri, masalah internal organisasi, hingga masalah eksternal yang membuat media ini tidak bisa terbit sesuai timeline yang aku susun di awal masa kepengurusan. Kecewa, tentu saja. Aku merasa, I’m not good enough to handle this job. Kebodohan dan ketidakcekatanku membuat keadaan makin tak bisa menemukan titik temu.
Namun, terlepas dari semua rangkaian masalah yang membelit keberadaan media perdana itu, aku menjadi semakin merasakan corak warna dalam keluarga keduaku ini. Nothing is perfect. Ini adalah momen dimana kekerasananku diuji. Media ini, aku yakin akan mengalahkan media yang diterbitkan di semua LPM (baca: Lembaga Pers Mahasiswa) di kampus dingin ini. Media ini akan menjadi media yang ditunggu kehadirannya di setiap sekber di UKM maupun di fakultas. Media ini, media ‘kavling 10’ yang menjadi tanggung jawabku, tanggung jawab keduaku setelah kuliah, harus akan tetap bernafas, meskipun suatu hari nanti, aku harus melemaskan genggamanku…
Balada Pemred amatir...
Balada Pemred amatir...
Comments
Post a Comment