Skip to main content

Tentang Kavling, Tentang Keluarga Keduaku

Pamflet Open Recruitment UAPKM UB tahun 2010
Entah dimulai darimana cerita tentang sebuah organisasi yang menjelma menjadi keluarga keduaku kini. Yang aku ingat, mata dan pikiranku terpaku pada sebuah pamflet abu-abu berlogo jari telunjuk mengacung keatas, diatasnya bertuliskan makna dari pemasangan pamflet itu : Open Recruitment Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa UB Kavling 10. Pamflet itu terpasang di suatu sudut ruangan, berlomba dengan pamflet-pamflet lain di jajaran ruang-ruang kecil, yang mereka kenal baik dengan sebutan kavling. Kavling 10, sekretariat bersama mahasiswa yang menerjunkan dirinya dalam kecimpung organisasi yang berbasis pada jurnalistik, disitulah tempatku memutuskan diri untuk menyerahkan formulir dan tugas wajib yang mereka syaratkan untuk mahasiswa pendaftar.

Kavling ini, yang ada di benakku pertama kali, terkesan sempit. Tumpukan koran langganan mereka meninggi hingga menyentuh batas bawah whiteboard, sebuah mading yang terpasang sekedarnya dipenuhi berbagai macam pengumuman seminar dan poster berisi susunan kepengurusan, lemari kayunya yang cukup besar tak terlihat lagi cat peliturnya, sebab sticker – sticker kecil telah berdesakan menutupi hingga tak ada tempat lagi. Karpet coklat lusuhnya berdebu. Di pojok ruangan, satu set computer sedang dimainkan oleh seorang lelaki berkaus hitam, yang langsung aku yakini sebagai salah satu anggota di kavling ini. Lagu instrumental berdengung, mengiringi anggota lainnya yang sedang serius memahami barisan kata dalam koran yang terbit hari ini. Lainnya, ada yang sibuk menggerak-gerakkan jari diatas keyboard notebook, ada yang melemaskan punggung berbantalkan tas.

Suasana seperti itu tak berubah hingga hari ini. Dimana aku telah sering mengunjungi kavling itu, untuk berdiskusi dengan anggota baru yang lain dan senior-senior berotak kritis ataupun hanya untuk melepas lelah setelah suntuk seharian duduk di bangku kelas. Bergelut dengan media adalah makanan kami sehari-hari. Liputan, deadline, editing, layouting, narasumber, wawancara, adalah istilah-istilah yang setiap hari kami interpretasikan nyata. Hampir setahun. Kakiku sengaja aku ayunkan ringan menuju jajaran sekber (baca: sekretariat bersama) di kampus dimana aku diterima itu, lalu pada akhirnya memutuskan untuk meregangkan kaki capekku di kavling tercintaku, kavling 10.

Entahlah, tiba-tiba saja nuraniku mengambil keputusan untuk jatuh hati pada UKM (baca : Unit Kegiatan Mahasiswa) ini. Tak ada seorang pun yang memotivasiku untuk datang jauh-jauh ke kavling yang hanya mampu menampung kurang lebih 15 orang ini. Semua murni dari panggilan hati. Dan kekerasananku tercipta dengan campur tangan faktor lain. Sapaan hangat para senior, guyonan mereka yang tak dibuat-buat, bahasa mereka, pemikiran mereka, motivasi dari mereka, adalah alasanku untuk tetap harus ada di sekber ini. Anggota baru yang lain, yang sama denganku, yang memiliki ke-khas-an dalam setiap individunya, memberikan warna tersendiri dalam organisasi yang dibilang banyak tugas ini. Aku sangat menikmati hari-hariku di kavling, meski setiap hari.

Tak perlu ditanyakan lagi, jika aku harus mengatakan bahwa kavling 10 adalah rumah keduaku. Keluarga keduaku. Arti keluarga itu makin ku rasakan dan merasuk dalam sela-sela pikiranku, ketika aku menemukan tempat untuk berbagi cerita. Tentang apapun. Ketika rasa suntuk, kesal, galau, kecewa, senang, sangat bahagia, hingga tanpa rasa, aku cukup pergi ke kavlingku, menemui beberapa teman, membuat lingkaran seperti bermain ‘truth and dear’, dan mulai mengeluarkan unek-unekku. Dan aku puas karenanya. Kavling ini, memberiku sejuta pengalaman, sejuta kisah, dan sejuta cita-cita.

Kavling 10, begitu mahasiswa mengenalnya, tetap sama seperti ketika aku pertama kali datang. Tak berubah sampai sekian. . . 

Logo UAPKM UB Kavling 10

Comments

  1. Ketika memang asa telah datang , yang ada hanyalah harapan untuk tetap bertahan . Bertaha pada tujuan utama hadir disini.

    ReplyDelete
  2. sama...
    aku juga awalnya kecewa...
    tapi, semua kembali diawal...
    bertanya pada diri apakah kita mampu bertahan?
    bukan menjanjikan kata kepada siapa, tetapi komitmen alam sadar tentang keteguhan hati pada sesuatu yang diyakini sejak awal....

    semangat sayang....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

INTO THE WILD: Kisah Tragis sang Petualang Muda

Penulis: Jon Krakauer Penerjemah: Lala Herawati Dharma Penyunting: Maria M. Lubis Penerbit: Qanita Tahun: Februari, 2005 Tebal: 442 halaman “Aku ingin pergerakan dinamis, bukan kehidupan yang tenang. Aku mendambakan kegairahan, bahaya, dan kesempatan untuk mengorbankan diri bagi orang yang kucintai. Aku merasakan di dalam diriku, tumpukan energi sangat besar yang tidak menemukan penyaluran di dalam kehidupan kita yang tenang.” – Leo Tolstoy (“ Family Happines ”) Tokoh utama dalam buku non-fiksi ini adalah Christopher Johnson McCandless, seorang pemuda berusia 24 tahun yang telah merampungkan studinya di Universitas Emory pada tahun 1990. Ia adalah seorang anak dari keluarga kaya di Kota Washington, D.C. Ayahnya, Walt McCandless adalah seorang insinyur angkasa luar yang bekerja untuk perusahaan konsultan miliknya sendiri bernama User System, Inc. Mitra kerjanya adalah ibu Chris, Billie. Chris McCandless pemuda pandai. Ia lulus dengan indeks prestasi kum

Cemburu Itu Peluru

Judul: Cemburu itu Peluru Penulis: Andy Tantono, Erdian Aji, Kika Dhersy Putri, Novita Poerwanto, Oddie Frente   Penerbit: Gramedia Pustaka Utama   Tahun: 2011   Tebal: 160 halaman ISBN: 978-979-22-6868-3 DADAKU SESAK. Puisi yang kugubah sepenuh hati untukmu, kau bacakan pada sahabatku.( @Irfanaulia, via @fiksimini)     Berawal dari sebuah akun twitter @fiksimini, lima penulis antara lain Erdian Aji, Novita Poerwanto, Oddie Frente, Kika Dhersy Putry, dan Andy Tantono berhasil membawa angin segar dalam mengembangkan karya lewat benih fiksi 140 karakter. Singkat, namun ‘ledakan’nya terasa.   Lima penulis ini memiliki masing-masing ciri khas dalam menuliskan fiksinya dan hasilnya jarang mengecewakan. Ide cerita dari 140 karakter menghasilkan beragam cerita super pendek bertema cinta dan kecemburuan. Cinta dalam Cemburu itu Peluru digambarkan begitu dekat dengan realita, senyaman apa pun sengeri bagaimana pun. Cinta dalam Cemburu itu Peluru tidak hanya dimaknai se

SENJA DI JAKARTA

Penulis         : Mochtar Lubis Penerbit       : Yayasan Obor Indonesia Tahun          : Juli 2009 (Cetakan Kedua) Tebal buku   : 405 halaman Ukuran     : 17cm x 11 cm   Senja di Jakarta merupakan novel yang mengusung tema kehidupan politik dan sosial di Jakarta selama kurun waktu 1960an. Awalnya, novel ini terbit dalam bahasa Inggris dengan judul Twilight in Jakarta pada tahun 1963, dan terbit dalam bahasa Melayu tahun 1964. Sebelum Mochtar Lubis memulai kisah dalam novel ini, ia menuliskan bahwa semua pelaku dan tokoh serta kejadian dalam cerita ini tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi sebenarnya. Secara keseluruhan, cerita yang disajikan oleh penulis memang tidak bisa dipastikan benar-benar terjadi, namun pada dasarnya detail peristiwa yang dituliskannya memang pernah terjadi dan sering terjadi di Indonesia.