Perasaan ragu itu menyelimuti benakku lagi. Aku merasa...dia belum sepenuhnya milikku. Dan itu bisa diartikan, aku menganggapnya tak sepenuh hati menyayangiku. Aku merasa, aku hanya boneka yang sempat ia temukan di jalanan asing, yang banyak dijamah orang, dan dipungutlah aku yang telah lusuh sebab banyak memendarkan luka hati dimana-mana. Ia menemukanku dalam keadaan pasrah dan putus asa, sebab ia tak mampu menggapai harapannya yang sesungguhnya. Ia membersihkan sedikit demi sedikit luka hatiku dan menyimpanku dalam kardus hatinya, yang berada di gudang pikirannya, berdesakan dengan boneka-boneka lain yang juga sedikit lusuh, dan bisa dipastikan aku yang paling terbersih dari luka hati. Sebab ia meletakkanku tak jauh dari pintu otaknya, sehingga ketika ia membuka gudang pikirannya yang telah sesak dengan harapan-harapan tak kesampaiannya, tentu saja ia dengan mudah memungutku. Membersihkan debu-debu yang menggangguku dan mulai mengajakku bermain. Tentang hati.
Aku hanya seonggok boneka yang telah lama terlantar di jalanan asing, menunggu seorang tuan mengambil dan merawatku dengan sebaik-baiknya. Dan aku kira, aku telah mendapatinya sebagai tuan baruku. Sehingga kemanapun ia mengajakku, aku tak punya alasan apapun untuk menolak.
Ia sangat menyukaiku, mungkin karena letakku yang selalu ia taruh tak jauh dari pintu otaknya. Ia selalu menjengukku ketika ia lelah, bosan, dan mulai memainkanku lagi. Ketika ia merasa telah terhibur, ia mengucapkan terima kasih kemudian mengembalikanku kembali pada kardus hatinya, yang lagi-lagi tak jauh dari pintu otaknya.
Aku tetap berada di kardus hatinya, yang sebenarnya adalah sebuah oase yang luas. Meskipun aku dekat dengan pintu otaknya, sehingga ia tak mempunyai kesulitan apa pun untuk mengingatku, tapi aku tetaplah boneka di dalam kardus. Tak memiliki nyawa sedikitpun untuk menggerakkan kaki tanganku menuju oase yang luas itu. Menyelami hatinya begitu dalam.
Ketika ia membuka gudang pikirannya kembali, lalu ia mendapatiku dalam keadaan yang baik-baik saja seperti kemarin, ia mulai mengamati boneka-boneka lainnya. Memungutnya, dan membersihkan mereka sedikit demi sedikit. Jika aku adalah boneka yang mampu berpikir, aku akan mengatakan pada tuan baruku itu : “jadi selama ini, aku sama dengan yang lain? Bedanya aku dekat dengan pintu otakmu? Jika memang iya, kenapa kau tak kembalikan saja aku ke jalanan asing? Menunggu tuan lain, yang tak memiliki banyak koleksi boneka sepertimu, sehingga aku pun dapat berjalan sewajarnya, tak selalu di dalam kardus, berdesakan dengan kardus boneka yang lain?”
Aku hanya bisa merintih dalam kekosongan badanku, sebab tuanku itu tak pernah mau membuangku lagi ...
Comments
Post a Comment