“Ya jangan kaget lah kalau budaya kita disabet negara lain, lha wong rakyatnya aja nggak peduli kok,” begitu celetuk Jumadi, seorang budayawan dari Malang. Ia menuturkannya dengan raut muka prihatin, sambil bersandar di salah satu dahan pohon di Hutan Kota Malabar pada Minggu sore, 28 Oktober 2012 silam.
Anggota diskusi Debu Nusantara http://ifomie.com/wp-content/uploads/2013/03/debu-nusantara-v1-e1362977256906.jpg |
Jumadi
tidak sendiri. Ia duduk bersila di depan segelintir pemuda-pemuda yang
meluangkan waktunya untuk mengikuti diskusi dwi mingguan yang diadakan oleh
Debu Nusantara, sebuah kolektif berbasis folklore
(cerita rakyat, red).
Rindangnya
pepohonan Hutan Kota Malabar senja itu mengantarkan Jumadi dan rekannya Yongki
Irawan, yang juga seorang budayawan menuturkan pemikiran segar mereka tentang esensi budaya Indonesia.
Jumadi, bertutur banyak tentang dongeng Mpu Sendok, Airlangga, Kilisuci, Gunung
Kelud, dan Suro, sebagai bulan yan diperingati oleh orang Jawa untuk
memperingati lahirnya kesucian jiwa.
Giliran
Yongki Irawan, dengan suara lantang menyentak acara diskusi itu dengan semangat
menyadarkan pemuda-pemuda menggali potensi diri dan melestarikan budayanya. “Bangsa
kita ini loh punya budaya banyak,
tapi kenapa sekarang malah repot beli budaya Barat? Kurang bodoh apa kita?”
geram bapak yang berusia 61 tahun ini.
Yongki,
begitu ia disapa, juga mengatakan bahwa filosofi budaya Jawa, budaya yang dekat
dengan kita, belum dibedah secara mendalam oleh bangsa kita, sehingga orang
Barat yang memang memiliki keuletan tinggi memiliki arsip tentang kebudayaan
kita lebih banyak berkali-kali lipat. “Arsip budayae wong Jowo nang Londo kono wes sak trek (Arsip budaya orang
Jawa di Belanda sudah satu truck, red.),” terangnya dengan fasihnya menggunakan
bahasa Jawa Ngoko.
Uniknya,
bapak yang lanjut usia ini tengah mengenakan atribut pramuka lengkap saat
menyampaikan wacananya. Ketika ditanya oleh salah satu peserta, beliau
menjawab, “saya ini penggemar Soekarno, dan atribut yang saya kenakan ini
adalah sebagai simbol bahwa saya sangat mencintai negeri ini.”
Langit
semakin redup, jam menunjukkan pukul 17.05 Waktu Indonesia Barat. Diskusi ini
terpaksa diakhiri karena telah larut senja. Doni Ukik, salah satu member Debu Nusantara menyimpulkan bahwa
sebagai generasi muda, harus berani membuktikan. Setelah acara usai, Doni Ukik
bercerita singkat tentang peran Debu Nusantara.
“Kami
disini bukan komunitas atau organisasi, tapi kami adalah kolektif. Diskusi ini
kami maksudkan untuk menyadarkan pemikiran kita semua,” tuturnya. Pria alumnus
Institut Teknologi Nasional Malang ini pun berencana Debu Nusantara akan melakukan
diskusi-diskusi kembali di luar Malang. “Rencananya kita mau diskusi ke Lombok
nanti,” tutup Doni.
Berita ini telah diupload pada web Kavling 10: http://kavlingsepuluh.blogspot.com/2012/10/sadar-budaya-oleh-debu-nusantara.html?q=Debu+nusantara pada 29 Oktober 2012.
Kebudayaan kita memang harus dilestarikan agar anak cucu bisa mewarisi dan meneruskannya.
ReplyDeleteJanganlah kita hanya berteriak lantang ketika salah satu tarian di klaim oleh negara lain.
Generasi muda harus mencintai budaya negeri sendiri ya mbak.
Terima kasih reportasenya
Salam dari Surabaya
Ayo kawula muda, cintai dan tumbuh suburkan gerakan menari budaya bangsa.
ReplyDeleteSalam