Negara Indonesia adalah negara demokratis yang memberi hak untuk berpendapat, hak untuk menuangkan pikiran dan sikap, kepada setiap warga negaranya yang tertulis dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28.
Suara Kami Tak Pernah Padam...
29 Mei. Angka di kalender tetap tidak berubah warna. Tidak ada peringatan hari besar nasional, tidak ada hari besar keagamaan. Semua orang sedang melakukan aktivitas seperti biasa, sebagian orang sedang berambisi meraih cita-cita, sebagian orang lagi ada yang memikirkan rencana hidupnya ke depan.
Sebagian orang ada juga yang meratapi nasib.
Nasib ditinggal orang terdekat mereka, nasib gagal dalam persoalan hidupnya,
nasib dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja, nasib kehilangan tempat
tinggal mereka…
Nasib yang terakhir mungkin hanya dirasakan oleh
korban lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo.
7 tahun lalu tepatnya, gas campur lumpur panas keluar
deras dari perut bumi di desa Reno Kenongo yang kini sudah dilahap habis
olehnya. Ratusan rumah dari berbagai desa, puluhan sekolah dan tempat peribadatan tenggelam bersamaan
dengan hilangnya mata pencaharian, ikatan sosial dengan tetangga yang telah
dianggap kerabat, dan mimpi-mimpi yang sudah ditulis dalam angan.
Gas campur lumpur panas itu seperti banjir yang
terus mengalir, lalu seiring berjalannya waktu, ia menjelma seperti buldoser
yang menggilas pondasi-pondasi rumah penduduk satu per satu. Tak jarang ia juga
berubah menjadi udara berbau belerang ketika angin kencang berhembus. Bau
belerang yang lebih mirip bau bangkai.
Sudah terbukti bahwa gas dan lumpur panas ini
muncul karena kesalahan pengeboran yang dilakukan oleh sebuah perusahaan minyak
dan gas bernama Lapindo. Kasus ini pun sudah mendapat kejelasan dari para
penegak hukum. Kejelasan hukum yang tidak jelas. Lapindo dinyatakan bebas dari
tuduhan sebagai penyebab bencana lumpur Lapindo, kemudian kubangan lumpur panas
berhektar-hektar tersebut dinobatkan menjadi bencana alam. Bijak sekali bukan
menjadikan Tuhan sebagai tersangka?
Suara Kami Tak Pernah Padam...
7 tahun silam. Ladang tanaman kacang hijau
terbentang luas di desa Jatirejo. Anak-anak bersepeda sesekali melihat ibu-ibu
menjemur hasil ladangnya di depan halaman rumah. Ibu penjual jamu gendong
keliling berbelok ke rumah-rumah langganannya. Bapak tukang panci berteriak
lantang berharap ada panci di dapur ibu-ibu bolong agar bisa ia tambal.
Memori itu hanya diingat oleh para korban, dan
lebih memilih melupakan ketika mengingat semuanya telah rata dengan
luberan lumpur panas yang tak kunjung berhenti.
Bencana lumpur Lapindo semakin menyakitkan,
ketika sengketa tanah dan rumah warga yang ditenggelamkan tidak segera diberi
kejelasan dengan ganti rugi. Sebagian warga yang sudah menerima ganti rugi
sudah leha-leha menikmati rumah barunya, pergi haji, beli mobil…
Sebagian warga yang lain sibuk berdemo karena
hak tanah dan rumah mereka yang belum dilunasi. Memasang baliho-baliho kecaman
kepada pemilik Lapindo yang sekarang dengan pedenya mencalonkan diri sebagai
presiden pasca membuat rakyat Porong menderita lahir batin.
Derita lahir batin itu pun semakin memborok
karena lama tidak diobati. Buldoser-buldoser dan pekerja tanggul lumpur Lapindo didesak untuk menghentikan segala kegiatan mereka untuk terus menanggul lumpur,
sampai ganti rugi mereka dilunasi. Biar lumpur jebol sekalian, umpat mereka.
Warga desa yang belum tenggelam namun termasuk
peta terdampak tidak bisa berbuat banyak melihat korban terdahulu belum
dilunasi. Beberapa waktu lalu, mereka melakukan aksi lagi dengan mencangkuli tanggul lumpur Lapindo agar jebol ke jalan raya dan rel kereta api. Tentu saja
aksi mereka ini membuat warga di sekitar desa yang belum pindah merasa was-was.
Takut kalau hujan turun, lumpur itu benar-benar jebol dan menenggelamkan rumah
mereka. Pantas saja, karena mereka masih belum mendapat rumah baru.
7 tahun. Analogikan saja dengan bayi berumur 0
tahun ketika lumpur Lapindo menyembur pertama kalinya. Saat ini, bayi itu sudah
cukup besar mengenal dunianya, mulai tahu apa cita-citanya, mulai bisa mengenal
banyak dunia luar selain ibu bapaknya. Tapi itu tidak berlaku bagi warga korban
lumpur Lapindo yang belum mendapat ganti rugi hingga sekarang. Hidup mereka masih
saja stagnan terkatung-katung pada poster-poster demo.
7 tahun. Warga Aceh terkena bencana alam (murni)
tsunami pada tahun 2004 pasti sudah bisa menata hidup mereka kembali, meski kehilangan yang
mereka rasakan juga banyak. Warga Merapi pasti sudah kembali pada
rutinitas mereka sebelum gunung aktif itu meletus. Tapi itu tidak berlaku bagi
korban lumpur Lapindo yang nasibnya digantung setinggi asap pusat semburan.
Belum lagi ketidakpastian tentang kondisi tanggul yang bisa saja sewaktu-waktu
runtuh dan buyarlah tatanan kota dalam sekedip mata.
7 tahun. Tidak membuat Porong semakin apik
dipandang tapi makin miris. Sepanjang pinggir jalan rumah-rumah digempur
pemiliknya sendiri, mengais batu bata dan keramik yang barangkali bisa dipakai
kembali ketika membuat rumah baru. Tidak membuat nasib warga korban yang
dulunya kaya semakin kaya. Tidak juga membuat pemandangan lumpur panas yang
mereka sebut wisata itu semakin indah.
Jangan kira ribuan warga dari berbagai penjuru
dunia yang berbondong-bondong itu untuk tujuan wisata. Lubuk hati mereka
sebenarnya berduka dan mereka kesana dengan tujuan melayat. Melayat kepada
keadilan sembari terus bertanya siapa yang bertanggung jawab atas bencana akbar
ini? Para ilmuwan pemerhati lingkungan sibuk membahas masalah ini dalam jurnal-jurnal penelitian
mereka, mengabadikan setiap foto, dan kembali prihatin.
Warga penjaga parkir kunjungan lumpur Lapindo
tentu saja senang, masih ada yang peduli dengan lumpur Lapindo yang tak kunjung
usai. Meski mereka harus bernafas dengan aroma belerang mirip bangkai setiap
harinya, meski mereka berangkat dengan kulit memerah karena nyamuk semalam
makin banyak, sebab got rumah mereka tersumbat aliran lumpur.
Persetan dengan pemerintah yang berkunjung pun tidak. Persetan dengan pemilik Lapindo yang makin gencar memasang baliho-baliho
pencalonannya. Persetan dengan media-media yang memperhalus istilah lumpur
Lapindo menjadi lumpur Sidoarjo, kemudian mengatakan kehidupan warga korban
lumpur Lapindo semakin sejahtera dan mereka berterima kasih banyak kepada si pembuat onar lumpur panas.
Mereka tak butuh pencitraan. Mereka hanya butuh
keadilan. Dan suara-suara sumbang itu akan berdemo terus menerus…
15 tahun kemudian. 29 Mei ditetapkan sebagai
hari besar nasional untuk memperingati bencana semburan lumpur panas Lapindo. Anak-anak
sekolah, bos, pegawai negeri, pegawai swasta, pekerja lepas, ibu rumah tangga,
buruh, pengangguran kembali naik tanggul lumpur Lapindo melakukan aksi damai. Lumpur Lapindo diramalkan terus menyembur hingga waktu yang tidak bisa ditentukan. Pemilihan presiden telah berlangsung berkali-kali dan tidak satu pun calon yang mampu mengatasi bencana ini.
Pembuat bencana ini malah mati bersama
ketidakadilan yang ia sumbangkan dengan ikhlas.
...dan Suara Kami Tetap Takkan Pernah Padam...
kasihan orang2 seperti mereka...
ReplyDeletetulisan ini untuk lomba juga?
keinget tahun lalu meliput lautan lumpur yang dilabeli "wisata lumpur lapindo", keinget film "dibalik frekuensi" yang mengisahkan kembali pemberitaan hal ini, sekarang baca tulisan mba ely,
ReplyDeletehaduh,
lengkap sudah alasan air mata ini mengalir, :'(
terbayang bagaimana kekecewaan besar mereka...
ReplyDeletenice ^^
ReplyDeleteinspiratif
speechless :'(
ReplyDeleteNegara Indonesia memang negara hukum, tp sayang hukumnya masih pincang
Wynn Casino & Hotel - JamBase
ReplyDeleteTry 상주 출장샵 your luck in the Wynn Slots! This classic casino slot is set 부천 출장마사지 in a 5×5, 충청남도 출장마사지 4 rows 광주광역 출장샵 gaming area. With 243 free spins, this 군산 출장마사지 slot will let you wager