Gambar diambil dari http://ridwansyahyusufachmad.files.wordpress.com |
Situs
online tempo.co merilis berita berjudul “Kasus Playboy Indonesia, dari Terbit
Hingga Tutup Kontroversial”[1]
pada 27 Agustus 2010 yang menceritakan tentang kronologi kasus Majalah Playboy di Indonesia. Rancangan UU
Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) masih dibahas menyusul dengan kasus majalah
Playboy terbit perdana di Indonesia
pada 7 April 2006. Ormas Front Pembela
Islam (FPI) melakukan orasi di depan kantor Playboy
dengan menggelar aksi orasi, perusakan, dan pembakaran.
29 Juni 2006, polisi menetapkan pemimpin redaksi Majalah Playboy Erwin Arnada, dan model majalah ini, yaitu Kartika Oktavina Gunawan dan Andhara Early, sebagai tersangka terkait kasus pornografi.
5 April 2007, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus bebas terdakwa Pemimpin Redaksi Majalah Playboy Erwin Arnada dalam perkara kesusilaan. 12 April 2007, FPI bersama Forum Umat Islam melaporkan vonis bebas yang dijatuhkan Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Selatan dalam memutus perkara kesusilaan dengan terdakwa Erwin Arnada ke Komisi Yudisial.
29 Juli 2009, putusan Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung memenangkan FPI dalam kasus Playboy dengan menyatakan terdakwa Erwin Arnada selaku Pimpinan Redaksi Majalah Playboy Indonesia, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kesusilaan. Hakim menjatuhkan pidana terhadap Erwin sesuai pasal 282 ayat 3 KUHP Jo pasal 55 KUHP tentang tindakan kesusilaan dengan ancaman hukuman dua tahun penjara.
25 Agustus 2010, Ketua FPI Muhammad Rizieq Syihab memerintahkan anggotanya untuk mencari dan menangkap Erwin Arnada, mantan Pemimpin Redaksi Playboy. FPI menuntut Erwin Arnada segera menyerahkan diri menyusul putusan Mahkamah Agung yang memenangkan pihak FPI.
26 Agustus 2010, Dewan Pers membela majalah Playboy. Putusan MA tersebut dikategorikan sebagai kriminalisasi terhadap pers. Menurut Dewan Pers masih ada upaya hukum yang bisa dilakukan oleh Erwin atas putusan MA tersebut.
Pada awal 2011, tiga lembaga kajian dan advokasi hukum menyampaikan pendapat hukum (amicus curiae) dalam perkara yang menjerat Pemimpin Redaksi Playboy Indonesia Erwin Arnada, yang kini memasuki tahap peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung. Ketiga lembaga itu adalah Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM).[2]
Pengajuan amicus curiae di Indonesia mengacu pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal itu berbunyi, "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat."
Dasar hukum amicus curiae lainnya adalah Pasal 180 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal itu menyatakan, "Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat diminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan."
29 Juni 2006, polisi menetapkan pemimpin redaksi Majalah Playboy Erwin Arnada, dan model majalah ini, yaitu Kartika Oktavina Gunawan dan Andhara Early, sebagai tersangka terkait kasus pornografi.
5 April 2007, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus bebas terdakwa Pemimpin Redaksi Majalah Playboy Erwin Arnada dalam perkara kesusilaan. 12 April 2007, FPI bersama Forum Umat Islam melaporkan vonis bebas yang dijatuhkan Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Selatan dalam memutus perkara kesusilaan dengan terdakwa Erwin Arnada ke Komisi Yudisial.
29 Juli 2009, putusan Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung memenangkan FPI dalam kasus Playboy dengan menyatakan terdakwa Erwin Arnada selaku Pimpinan Redaksi Majalah Playboy Indonesia, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kesusilaan. Hakim menjatuhkan pidana terhadap Erwin sesuai pasal 282 ayat 3 KUHP Jo pasal 55 KUHP tentang tindakan kesusilaan dengan ancaman hukuman dua tahun penjara.
25 Agustus 2010, Ketua FPI Muhammad Rizieq Syihab memerintahkan anggotanya untuk mencari dan menangkap Erwin Arnada, mantan Pemimpin Redaksi Playboy. FPI menuntut Erwin Arnada segera menyerahkan diri menyusul putusan Mahkamah Agung yang memenangkan pihak FPI.
26 Agustus 2010, Dewan Pers membela majalah Playboy. Putusan MA tersebut dikategorikan sebagai kriminalisasi terhadap pers. Menurut Dewan Pers masih ada upaya hukum yang bisa dilakukan oleh Erwin atas putusan MA tersebut.
Pada awal 2011, tiga lembaga kajian dan advokasi hukum menyampaikan pendapat hukum (amicus curiae) dalam perkara yang menjerat Pemimpin Redaksi Playboy Indonesia Erwin Arnada, yang kini memasuki tahap peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung. Ketiga lembaga itu adalah Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM).[2]
Pengajuan amicus curiae di Indonesia mengacu pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal itu berbunyi, "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat."
Dasar hukum amicus curiae lainnya adalah Pasal 180 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal itu menyatakan, "Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat diminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan."
Gambar diambil dari wikipedia.org |
Lewat amicus curiae, ketiga lembaga itu ingin
memberi pandangan kepada majelis hakim Peninjauan Kembali yang akan memutuskan
perkara pidana kesusilaan tersebut. Mereka memakai uji kebahayaan (harm test), penilaian masyarakat umum,
serta prinsip kebebasan berekspresi dan kebebasan pers sebagai patokan.[3]
Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa pun mempertimbangakan amicus curiae tersebut. MA mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum. Kasasi diajukan jaksa setelah pada tahap pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan pada tahap banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Erwin Arnada dinyatakan bebas dari dakwaan jaksa penuntut umum.[4]
Kasus Erwin Arnada sebagai pemimpin redaksi majalah Playboy ini memakan proses yang panjang dan waktu yang sangat lama, dan pada akhirnya ia dinyatakan bebas. Pertanyaan pun muncul, UU Pornografi berarti tidak berlaku pada produk pers? Mengapa MA memutuskan untuk setuju menerapkan regulasi “kebebasan berekspresi” yang tertuang dalam UU Pers?
Erwin Arnada sempat diwawancara oleh Tempo dan menyatakan bahwa Tak ada gambar yang tak sesuai kesusilaan. Begitu juga tulisan. Majalah Playboy yang di sini disesuaikan dengan budaya sini. Kami lebih menekankan pada bobot tulisan, bukan gambar-gambar "begitu". Playboy itu hanya branding saja.[5]
Kenyataan tersebut tentu saja sangat berbeda dengan realita yang ada, apalagi majalah pria dewasa saat ini dijual begitu bebas di pasaran, siapa pun bisa mengkonsumsinya. Beberapa pihak masih menanyakan tentang definisi pornografi yang sejatinya subjektif, tidak bisa disamakan antara persepsi individu satu dengan lainnya. Persepsi masyarakat tentang model perempuan yang ada di majalah pria dewasa sebagai model yang dieksploitasi juga merupakan penilaian subjektif bagi sebagian pihak yang sangat menjunjung tinggi nilai budaya, kesopanan, dan feminitas.
Bintang film porno yang menggunakan nama samaran “Jenitel” juga mengakui dalam wawancara dengan pengarang Laurence O’Toole: “Ada orang yang mengira bahwa aktris dalam bisnis ini pasti mengalami masa kecil yang buruk, pasti ada yang salah dalam benaknya, karena kalau tidak begitu tidak akan terjun dalam bisnis ini.” Akan tetapi “Jenitel” membantah asumsi itu dengan mengatakan: “Keadaan sesungguhnya tidak seperti itu. Mereka yang berpandangan buruk tentang bintang porno tidak mau mengakui kenyataan bahwa orang menjalankan pekerjaan ini karena memang senang mengerjakannya, kalau saya merasa dieksploitasi, saya tidak akan mau melakukannya.”[6]
Bintang film porno yang lain, Brittany O’Connel, juga menolak gambaran “perempuan porno” sebagai korban sosial yang rasa harga dirinya rendah, hanya menyukai pekerjaan ini semata-mata demi uang, atau cuma memiliki kemampuan itu saja, dan “oleh sebab itu, tidak mungkin terjun dalam bisnis ini karena senang membuat film.” Ia membantah semua pendapat itu dan menambahkan: “Saya lulus sekolah menengah pada umur 17 tahun. Saya sudah mengikuti pendidikan kolase selama dua tahun. Saya menempuh jurusan atrofisika. Dan saya senangi apa yang saya kerjakan sekarang.”[7]
Konsep pornografi semakin kabur hingga saat ini, karena selama majalah pria dewasa terbit di tengah masyarakat tapi tidak menganggu ketentraman, maka penegak hukum dan pemerintah ayem-ayem saja. Setiap penilaian mengenai pornografi haruslah disesuaikan dengan masa, tempat, dan budaya terdapat etika sosial dan nilai moralnya sendiri. Peristiwa manusia masa silam tidak bisa disamakan dengan peristiwa saat ini[8].
Pada tahun 2001, Dewan Pers mengeluarkan pernyataan mengenai pornografi dalam pers dengan enam poin di dalamnya.[9] Beberapa poin sesuai dengan tema pembahasan tulisan ini.
Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa pun mempertimbangakan amicus curiae tersebut. MA mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum. Kasasi diajukan jaksa setelah pada tahap pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan pada tahap banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Erwin Arnada dinyatakan bebas dari dakwaan jaksa penuntut umum.[4]
Kasus Erwin Arnada sebagai pemimpin redaksi majalah Playboy ini memakan proses yang panjang dan waktu yang sangat lama, dan pada akhirnya ia dinyatakan bebas. Pertanyaan pun muncul, UU Pornografi berarti tidak berlaku pada produk pers? Mengapa MA memutuskan untuk setuju menerapkan regulasi “kebebasan berekspresi” yang tertuang dalam UU Pers?
Erwin Arnada sempat diwawancara oleh Tempo dan menyatakan bahwa Tak ada gambar yang tak sesuai kesusilaan. Begitu juga tulisan. Majalah Playboy yang di sini disesuaikan dengan budaya sini. Kami lebih menekankan pada bobot tulisan, bukan gambar-gambar "begitu". Playboy itu hanya branding saja.[5]
Kenyataan tersebut tentu saja sangat berbeda dengan realita yang ada, apalagi majalah pria dewasa saat ini dijual begitu bebas di pasaran, siapa pun bisa mengkonsumsinya. Beberapa pihak masih menanyakan tentang definisi pornografi yang sejatinya subjektif, tidak bisa disamakan antara persepsi individu satu dengan lainnya. Persepsi masyarakat tentang model perempuan yang ada di majalah pria dewasa sebagai model yang dieksploitasi juga merupakan penilaian subjektif bagi sebagian pihak yang sangat menjunjung tinggi nilai budaya, kesopanan, dan feminitas.
Bintang film porno yang menggunakan nama samaran “Jenitel” juga mengakui dalam wawancara dengan pengarang Laurence O’Toole: “Ada orang yang mengira bahwa aktris dalam bisnis ini pasti mengalami masa kecil yang buruk, pasti ada yang salah dalam benaknya, karena kalau tidak begitu tidak akan terjun dalam bisnis ini.” Akan tetapi “Jenitel” membantah asumsi itu dengan mengatakan: “Keadaan sesungguhnya tidak seperti itu. Mereka yang berpandangan buruk tentang bintang porno tidak mau mengakui kenyataan bahwa orang menjalankan pekerjaan ini karena memang senang mengerjakannya, kalau saya merasa dieksploitasi, saya tidak akan mau melakukannya.”[6]
Bintang film porno yang lain, Brittany O’Connel, juga menolak gambaran “perempuan porno” sebagai korban sosial yang rasa harga dirinya rendah, hanya menyukai pekerjaan ini semata-mata demi uang, atau cuma memiliki kemampuan itu saja, dan “oleh sebab itu, tidak mungkin terjun dalam bisnis ini karena senang membuat film.” Ia membantah semua pendapat itu dan menambahkan: “Saya lulus sekolah menengah pada umur 17 tahun. Saya sudah mengikuti pendidikan kolase selama dua tahun. Saya menempuh jurusan atrofisika. Dan saya senangi apa yang saya kerjakan sekarang.”[7]
Konsep pornografi semakin kabur hingga saat ini, karena selama majalah pria dewasa terbit di tengah masyarakat tapi tidak menganggu ketentraman, maka penegak hukum dan pemerintah ayem-ayem saja. Setiap penilaian mengenai pornografi haruslah disesuaikan dengan masa, tempat, dan budaya terdapat etika sosial dan nilai moralnya sendiri. Peristiwa manusia masa silam tidak bisa disamakan dengan peristiwa saat ini[8].
Pada tahun 2001, Dewan Pers mengeluarkan pernyataan mengenai pornografi dalam pers dengan enam poin di dalamnya.[9] Beberapa poin sesuai dengan tema pembahasan tulisan ini.
1) Secara prinsip, pornografi dan kecabulan tidak masuk dalam kategori
pers. Pers menyebarkan informasi yang berkaitan dengan wilayah kepentingan
publik, sedangkan pornografi dan kecabulan terkait wilayah privat. Pelanggaran
menyangkut pornografi sudah diatur dalam KUHP Pasal 282.
2) Terhadap media mainstream dan
media hiburan, Dewan Pers mengingatkan agar pers selalu menaati kode etik wartawan
Indonesia (KEWI) dan peka terhadap nilai rasa kesopanan yang dianut masyarakat.
3) Dewan Pers mengimbau masyarakat berperan aktif dalam melaporkan kepada
aparat hukum media penerbitan yang cenderung mengekploitasi pornografi.
4) Media hiburan yang menampilkan foto dan artikel “seronok” hendaknya
diatur pendistribusiannya dan hanya dijual di tempat-tempat tertentu yang tidak
mudah dijangkau anak-anak.
KESIMPULAN
Majalah pria dewasa yang terbit di Indonesia hendaknya
menyesuaikan kultur yang ada di masyarakat, sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman. Mengurangi intensitas penampilan perempuan yang “seronok”
sepertinya perlu dilakukan tahap demi tahap, agar citra perempuan bisa
dipandang lebih baik di mata publik. Peran aktif masyarakat, pemilik media,
pemerintah, dan penegak hukum sangat diperlukan untuk mengawal kasus pornografi
yang terjadi di media kita, agar media kita tetap menjadi media yang
berkualitas.
[1]
http://www.tempo.co/read/news/2010/08/27/063274387/Kasus-Playboy-Indonesia-dari-Terbit-Hingga-Tutup-Kontroversial
[2]
http://www.tempo.co/read/news/2011/01/20/063307583/Tiga-Lembaga-Ajukan-Pendapat-Hukum-Soal-Playboy
[3] Ibid
[4]
http://www.tempo.co/read/news/2011/01/21/063308048/MA-Pertimbangkan-Pendapat-Hukum-Kasus-Playboy
[5]
http://www.tempo.co/read/news/2010/10/09/063283625/Erwin-Arnada-Undang-Undang-Pers-Tak-Dihormati
[6] Atmakusumah. (2009). Tuntutan
Zaman Kebebasan Pers dan Ekspresi. Jakarta: Spasi & VHR Book, hal. 288
[7] Ibid.
[8] Ibid hal.282
Entah kenapa masalah di Indonesia itu banyak berhubungan dengan hukum dan media massa u.u
ReplyDelete