Gambar diambil dari ugm.ac.id |
Persma
memiliki definisi yang tidak jauh berbeda dengan pers umum, hanya kegiatan
jurnalistik Persma seluruhnya murni dikerjakan oleh mahasiswa. Pada dasarnya,
Persma adalah wadah bagi mahasiswa yang minat dalam dunia jurnalistik. Persma dijadikan
sebagai tempat belajar menulis, fotografi, dan belajar berpikir kritis terhadap
isu-isu kampus, sehingga mampu memberi informasi berbobot bagi mahasiswa lain.
Sudut
pandang reportase dan berita yang ditulis disesuaikan dengan mahasiswa selaku
segmentasi utama mereka. Isu yang diangkat tidak jauh dari isu kampus. Kadang,
mereka juga membahas isu di luar kampus, tapi tetap menekankan idealisme mereka
sebagai mahasiswa.
Pemikiran
murni mahasiswa inilah yang seringkali menghasilkan tulisan-tulisan kritis,
menentang apa saja yang menurut mereka tidak sesuai dengan teori, adat, hukum,
dan norma yang dianut oleh mereka dan masyarakat. Idealisme ini pun akhirnya
menjadi benturan tersendiri bagi berbagai pihak yang merasa tersinggung dengan
hasil tulisan Persma, tanpa kecuali atasan di kursi pemerintah, intansi, atau
kampus.
Kampus (Tak) Mendukung
Melihat
idealisme Persma yang cenderung kritis dan siap mewakili suara mahasiswa di
kampus, mayoritas petinggi kampus merasa kurang nyaman akan hasil tulisan
produksi Persma, karena terlalu terang-terangan mengungkap permasalahan yang
memang ada di suatu kampus.
Ini
kadang menyebabkan Persma dianggap sebagai duri dalam daging. Mereka secara
lahir bagian dari kampus, tapi pemikiran mereka seringkali tidak sesuai dengan
pemikiran yang dianut kampus mereka. Gesekan ini membuat nafas Persma
tersengal, ketika birokrasi kampus mempersulit dana yang menjadi hak Persma
untuk biaya penerbitan media mereka.
Misalnya
saja Persma membahas tentang pihak rektorat yang sengaja menebas habis lahan
hijau untuk pembangunan gedung baru, dikarenakan mahasiswa baru datang dengan
jumlah lebih banyak dari tahun sebelumnya. Kritisasi Persma lengkap dengan
suara mahasiswa lain yang tidak setuju membuat kuping rektorat panas. Alhasil,
dengan halus, pihak rektorat sengaja mempersulit dana yang diminta Persma.
Kesulitan
dana yang digalakkan oleh pihak kampus untuk Persma adalah model lama untuk
tidak mendukung terbitnya berita hasil olahan Persma. Petinggi kampus kadang
menerapkan model lain untuk menyandung langkah para mahasiswa untuk mendapat
informasi. Ambil contoh saja ketika seorang dekan menolak diwawancara tentang akreditasi
jurusan yang dimanipulasi. Ketidakberesan ini sebenarnya patut diungkap, namun
narasumber utama tidak bersedia menjawab atau setidaknya memberi hak jawab atas
permasalahan tersebut.
Istilah
pemberedelan hanya dikenal sebelum pers berada di masa sebelum reformasi. Tapi
pemberedelan pada nyatanya tetap terjadi hingga sekarang, hanya gaungnya tidak
sekeras dahulu. Pihak kampus yang merasa dirugikan akan keberadaan berita
Persma, tidak segan menyuruh anggota Persma menarik ulang pemberitaan yang
ditempel di mading kampus, dan memaksa ketuanya meminta maaf. Tragis.
Interview yang dilakukan Persma kepada
petinggi kampus sebaiknya didahului oleh surat permohonan wawancara, agar
narasumber bisa mengatur waktu bertemu sekaligus bisa bersiap menerima atau
menolak memberi ruang untuk wawancara, jika topik yang diajukan kurang sesuai
dengan kepentingan kampus.
‘Musuh’
Persma tidak hanya dari kalangan elemen kampus yang tidak mendukung, tapi juga
dari berbagai pihak yang merasa tidak nyaman akan keberadaan Persma. Pengalaman
ini terjadi hampir setiap tahun ketika ajang Ospek berlangsung. Panitia
melarang mahasiswa baru menerima selebaran apa pun, untuk menghindarkan mereka
dari pengaruh organisasi ekstra kampus yang memang menyebarkan media mereka.
Buntutnya,
Persma kena batunya. Para anggota Persma yang membawa selebaran informasi
tentang Ospek diacuhkan oleh mahasiswa baru. Ratusan eksemplar yang kadung
dicetak malah diinjak-injak. Peristiwa ini benar-benar terjadi tanpa menyebut
di kampus mana, karena off the record lebih
baik untuk melindungi tersangka.
Kesepakatan
antara Persma dan panitia akhirnya dirundingkan untuk menghindari gesekan antar
mahasiswa. Keruwetan ini menghasilkan kesepakatan agar Persma patuh terhadap
aturan teknis yang diatur panitia. Persma pun nurut agar tidak ada saling
cekcok dan media tersebar semua. Masalah selesai.
Kritis
Persma terhadap fenomena Ospek membuat Humas kampus ikut kesemutan. Mereka menyadarkan
Persma untuk menulis berita yang positif tentang kampus demi membangun opini mahasiswa baru
yang masih rancu akan kampus yang menerima mereka. Penyadaran ini jelas ditolak
oleh kalangan Persma, karena prinsip cover
both sides dijunjung tinggi. Baik ditulis baik, jelek ditulis jelek. Bukan
salah satunya.
Humas
kampus menganggap media yang patut dipercaya oleh mahasiswa baru hanya media
produk kampus yang dibuat Humas. Media Humas kampus yang memuat berita prestasi
kampus tanpa mengungkap sisi buruk di dalamnya. Persma dianggap media belajaran
yang bisa saja salah persepsi dalam memuat berita.
Fenomena
tersebut diatas membuktikan bahwa Persma masih belum diterima eksistensinya
bahkan di kalangan kampus sendiri. Kampus lebih menyukai kegiatan mahasiswa
yang menghasilkan prestasi konkrit dan mampu mengharumkan nama kampus di luar,
bukan Persma yang selalu mengkritisi.
Jangan Goyah
Permasalahan
yang dihadapi Persma bisa dikatakan pelik, mengingat Persma juga tidak
mempunyai payung untuk berlindung. Pers umum masih memiliki lembaga perlindungan pers yang bisa membela mereka sewaktu-waktu, sedangkan Pers Mahasiswa hanya punya
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) sebagai wadah berkeluh kesah.
Pengakuan
keberadaan Persma dan PPMI hanya terkenal di kalangan mahasiswa anggota Persma
saja. Di luar atau di kalangan masyarakat Persma kurang bisa diterima, terbukti
dengan adanya fenomena yang tersebut sebelumnya.
Pengakuan
keberadaan ini dirasa kurang penting dijadikan wacana bagi kalangan Persma,
karena menurut mereka eksistensi media adalah yang paling penting. Mereka hanya
berpacu dengan isu terbaru tanpa berpikir kesulitan-kesulitan yang jika
dihitung mungkin banyak sekali.
Kesulitan-kesulitan
tersebut kemungkinan bisa saja mempengaruhi idealisme mereka dan
memilih jalan
aman untuk meliput berita di sisi positif saja dan menjauhi sisi negatif untuk
melindungi diri. Namun kemungkinan ini diharapkan tidak pernah terjadi, karena
kritis terhadap peristiwa yang dilakukan Persma adalah kontrol sosial
tersendiri.
Minimnya
dana dalam pundi-pundi Persma tidak bisa dijadikan batu sandungan berarti,
karena ketika Persma aktif menulis, dana akan dengan sendirinya mengalir.
Anggota Persma bisa memanfaatkan peluang yang disediakan media umum untuk
menulis atau mengikuti ajang lomba menulis sebagai wadah untuk mengasah potensi
sekaligus investasi organisasi.
Percaya
atau tidak, eksistensi Persma selalu dipertanyakan di setiap kampus, karena
memang mereka lah penyuplai informasi paling aktif dibanding media lain seperti
Humas kampus atau media produksi unit kegiatan mahasiswa lainnya. Mahasiswa
sebagian besar masih percaya terhadap tulisan Persma sehingga bisa memperkokoh
pondasi Persma hingga kini.
Hidup
terus Persma, di tanganmu lah idealisme itu berada.
coba baca pidatonya Ernest Mandel tentang Gerakan Mahasiswa Revolusioner, Teori dan Praktek, Kesatuan Teori dan Aksi.
ReplyDeletesetidaknya bs jadi bahan tambahan buat referensi.. ^_^ tp sblumnya baca2 dulu analisis kelas marx..
..aah.. enakan didiskusiin..
trims masukannya mas Edo, ayo kapan2 diskusi teori. Hehe, aku kalau nulis kurang pake teori soalnya :D
Deletenumpang ikutan diskusi. saya juga pernah sekali waktu nulis tentang persma. silahkan klik link-nya agar bisa didiskusikan. :D
ReplyDeleteoh iya, Elyvia, tulisannya bisa jadi bahan penyemangat aktivis persma tuh. :)
http://www.lpmsketsa.com/2011/12/bukan-sekedar-pers-mahasiswa.html
Oke, sudah mampir ke linknya...
Deletesemoga aktivis persma makin semangat dan terus beregenerasi...
Salam Persma!
ReplyDelete