Skip to main content

Secangkir Kopi Pahit

Kopi Pahit I

Aku tak ingat, kapan terakhir kali kita duduk bersama di kedai kopi.

Namun, aku tak pernah lupa, seleramu kopi pahit dan aku selalu pesan kopi susu.
Sekarang, aku memilih menikmati asap kopi sendirian, karena seleramu tiba-tiba berubah.
Kamu menjadi penyuka teh pahit. Katamu, kau bosan dengan kopi pahit.
Aku tak pernah bosan dengan kopi, malah aku menjadi pecandu kopi tanpa susu, beda dengan seleraku dulu. Karena, semenjak kau tak ada, stok susu di lemari pun kosong tak terisi.
Aku terpaksa mengaduk kopi pahit setiap pagi meski aku tak suka, namun anehnya rasanya mirip seperti kopi susu.
Apa karena aku masih memakai bekas cangkirmu?


Kopi Pahit II

Pesan itu ku terima dari seorang barista yang bekerja di sebuah kafe.

Ia mengabarkan ada rasa kopi baru yang harus aku coba. Kami akrab akhir-akhir ini.
Separuh malam, setiap aku pulang bekerja, aku menghabiskannya dengan minum kopi dan bercerita apa pun dengan barista itu. Ia selalu mendengarkanku sambil mendengarkan pesanan para pelanggan lain.
Malam ini, aku ingin mencoba rasa kopi baru itu sekalian ingin juga berjumpa dengan barista yang akhir-akhir ini terlihat manis dalam imajinasiku.
Ketika aku datang, aku tidak melihatnya di bar. "Hari ini dia sudah tidak bekerja di sini lagi, resign," kata barista lain. Aku bingung, menggerutu, dan sebal. Tapi, aku tetap pesan kopi rasa baru itu.
Pesananku diantar bersama dengan sebuah memo:

"Aku sengaja resign. Bosan mendengarkanmu setiap hari. Rasa kopi baru itu pahit. Sama seperti perasaanmu. Tinggal tambahkan gula. Selamat menikmati !"


Kopi Pahit III

Kau selalu bangun subuh demi membuatkanku secangkir kopi pahit. Setelah itu, pasti kau menghabiskan waktumu duduk di sampingku, mengamatiku meminum kopi pahit itu sampai habis. Kau juga tidak lupa menyiapkan asbak di sebelah cangkirku, agar abu rokokku tidak mengotori meja. Selama aku menghabiskan rokok kau juga tetap tak beranjak pergi dan tetap mengamatiku merokok. Seringkali, aku sebal. Kau bisa melakukan banyak hal selain menungguku menghabiskan kopi pahit dan menghirup rokok.

Kini segalanya berubah sejak kau tidak ada.
Aku pun berhenti minum kopi pahit dan merokok.
Aku sebal. Kau hanya meninggalkan sebungkus gula di lemari dapur. Harusnya cangkir, kopi, rokok dan asbaknya tidak usah kamu bawa mati !


Kopi Pahit IV

Suatu pagi, aku menghidangkan secangkir kopi di mejamu. "Kopi pahit kan?" tanyamu selalu.

Aku mengangguk dan kembali ke dapur untuk menyuapkan ke dalam mulutku beberapa sendok stok gula yang masih banyak.
Sepahit-pahit kopi harusnya bisa kita nikmati bersama, bukan?



This picture was downloaded from here




Comments

  1. Dalem, banyak pesan moralnya. Aku seperti Dipaksa berfikir dan memahami. :)
    Salam kenal..

    ReplyDelete
  2. Saya selalu suka sajak-sajak seperti ini. Hanya diangkat dari hal-hal yang ringan dan sederhana tapi diceritakan dengan pandai sekali :)
    Salam kenal :))

    ReplyDelete
  3. aih. keren banget ini (y)
    suka sekali cara menyampaikannya.. tentang empat kisah entah itu sama, bersilangan, beririsan atau bahkan berbeda sama sekali

    ReplyDelete
  4. tiba2 mau minum kopi.
    penasaran. bagaimana perasaan penulis saat menuliskannya. TOP

    ReplyDelete
  5. Fiksi mini yang keren
    Romantis dan mengandung hikmah
    "Jangan kau suguhkan kopi manis sekalipun padaku, karena aku nggak suka kopi" :D

    ReplyDelete
  6. Fantastic, bahasanya lugas dan sederhana..
    sehingga pembacanya bertanya-tanya bagian selanjutnya..

    ReplyDelete
  7. Bahasanya berkelas, lugas. Enak dibaca. Pokoknya keren, kopi pahit saja bisa menjadi pengalaman bermakna. Apalagi belajar dari siapa?

    ReplyDelete
  8. keren... tp nggak begitu ngena yang ke 2 menurutq... atau aq kurang bs menghayati ya :( ?

    ReplyDelete
  9. Mba, izin ambil gambar kopinya boleh ya, tengkyu sebelum nya ^^

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

INTO THE WILD: Kisah Tragis sang Petualang Muda

Penulis: Jon Krakauer Penerjemah: Lala Herawati Dharma Penyunting: Maria M. Lubis Penerbit: Qanita Tahun: Februari, 2005 Tebal: 442 halaman “Aku ingin pergerakan dinamis, bukan kehidupan yang tenang. Aku mendambakan kegairahan, bahaya, dan kesempatan untuk mengorbankan diri bagi orang yang kucintai. Aku merasakan di dalam diriku, tumpukan energi sangat besar yang tidak menemukan penyaluran di dalam kehidupan kita yang tenang.” – Leo Tolstoy (“ Family Happines ”) Tokoh utama dalam buku non-fiksi ini adalah Christopher Johnson McCandless, seorang pemuda berusia 24 tahun yang telah merampungkan studinya di Universitas Emory pada tahun 1990. Ia adalah seorang anak dari keluarga kaya di Kota Washington, D.C. Ayahnya, Walt McCandless adalah seorang insinyur angkasa luar yang bekerja untuk perusahaan konsultan miliknya sendiri bernama User System, Inc. Mitra kerjanya adalah ibu Chris, Billie. Chris McCandless pemuda pandai. Ia lulus dengan indeks prestasi kum

Cemburu Itu Peluru

Judul: Cemburu itu Peluru Penulis: Andy Tantono, Erdian Aji, Kika Dhersy Putri, Novita Poerwanto, Oddie Frente   Penerbit: Gramedia Pustaka Utama   Tahun: 2011   Tebal: 160 halaman ISBN: 978-979-22-6868-3 DADAKU SESAK. Puisi yang kugubah sepenuh hati untukmu, kau bacakan pada sahabatku.( @Irfanaulia, via @fiksimini)     Berawal dari sebuah akun twitter @fiksimini, lima penulis antara lain Erdian Aji, Novita Poerwanto, Oddie Frente, Kika Dhersy Putry, dan Andy Tantono berhasil membawa angin segar dalam mengembangkan karya lewat benih fiksi 140 karakter. Singkat, namun ‘ledakan’nya terasa.   Lima penulis ini memiliki masing-masing ciri khas dalam menuliskan fiksinya dan hasilnya jarang mengecewakan. Ide cerita dari 140 karakter menghasilkan beragam cerita super pendek bertema cinta dan kecemburuan. Cinta dalam Cemburu itu Peluru digambarkan begitu dekat dengan realita, senyaman apa pun sengeri bagaimana pun. Cinta dalam Cemburu itu Peluru tidak hanya dimaknai se

SENJA DI JAKARTA

Penulis         : Mochtar Lubis Penerbit       : Yayasan Obor Indonesia Tahun          : Juli 2009 (Cetakan Kedua) Tebal buku   : 405 halaman Ukuran     : 17cm x 11 cm   Senja di Jakarta merupakan novel yang mengusung tema kehidupan politik dan sosial di Jakarta selama kurun waktu 1960an. Awalnya, novel ini terbit dalam bahasa Inggris dengan judul Twilight in Jakarta pada tahun 1963, dan terbit dalam bahasa Melayu tahun 1964. Sebelum Mochtar Lubis memulai kisah dalam novel ini, ia menuliskan bahwa semua pelaku dan tokoh serta kejadian dalam cerita ini tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi sebenarnya. Secara keseluruhan, cerita yang disajikan oleh penulis memang tidak bisa dipastikan benar-benar terjadi, namun pada dasarnya detail peristiwa yang dituliskannya memang pernah terjadi dan sering terjadi di Indonesia.