Skip to main content

Krisis Emosional Kader Muda Bangsa

‘Guru kencing berdiri, murid kencing berlari’

Begitu pepatah Indonesia bilang. Mungkin selayaknya pantas jika contoh realita peribahasa tersebut sekarang terjadi di negeri ini pula. Kaitannya jelas, berhubungan dengan pendidikan moral anak bangsa. Pada Oktober 2012 lalu, masyarakat kembali disuguhi kabar buruk tentang tawuran pelajar. 

Pelajar yang pada hakikatnya bersaing di bangku sekolah mereka lewat prestasi karya-karya mereka, malah sibuk turun ke jalanan, saling pukul dengan pelajar lain. Hasilnya, para provokator tawuran ini, berurusan dengan pihak kepolisian. Dan karena proses penyidikan ini, tentu saja membuat pelajar yang menjadi tersangka terpaksa ‘cuti’ sekolah. Lebih mengerikan lagi, karena tawuran ini, satu pelajar tewas.

Kompas dalam websitenya megapolitan.kompas.com dengan beritanya yang berjudul “Psikolog: FR dan AD Suka Tawuran Tapi Cerdas” pada 5 Oktober 2012 mengulas tentang latar belakang kemampuan IQ kedua siswa yang menjadi pelaku utama tawuran di Bulungan tersebut diatas rata-rata.

Sebagai sesama generasi muda yang juga masih mengecap bangku pendidikan, sayang sekali rasanya, melihat anak muda yang IQ-nya cerdas namun tidak diimbangi dengan kemampuan emosional. Kecerdasan yang seharusnya bisa membangun kreativitas mereka dalam berpikir maju malah dikalahkan dengan emosi yang membuat mereka terpuruk.

esq-news.com (28 September 2012)

(Tidak) Bermanfaatnya Pendidikan Character Building
Institusi pendidikan Indonesia mulai dari level dasar hingga perguruan tinggi saat ini gencar melakukan pendidikan character building dan training motivasi. Kabarnya, kegiatan ini bertujuan untuk mendidik karakter generasi muda yang sesuai dengan harapan bangsa. Salah satunya pasti mengarah untuk mengurangi potensi tawuran antar pelajar. Tapi seperti yang kita lihat sekarang, rupanya pendidikan pembangunan karakter maupun motivasi tersebut tak cukup membantu.

Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi beserta Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan akan merancang panduan pencegahan tawuran antar pelajar pasca terjadinya tawuran antara SMA 6 dan SMA 70 Jakarta sepekan setelah terjadinya kasus tawuran tersebut (nasional.kompas.com, 2 Oktober 2012).

Budaya Indonesia memang, tindakan pencegahan itu selalu dilakukan setelah terjadinya peristiwa, dan booming-nya hanya beberapa hari ketika isu tawuran masih hangat diperbincangkan. Setelah itu, bak ditelan bumi, follow up-nya tidak ada. Hasilnya, lagi-lagi nonsense.

Politik vs Tawuran Pelajar vs Budaya
Sulit sekali jika mencoba memvonis siapa yang seharusnya bertanggungjawab terhadap insiden tawuran pelajar secara global, karena pada dasarnya banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Keluarga merupakan faktor inti terhadap tumbuh kembang anak.

Namun tidak selamanya keluarga yang disalahkan, karena faktor adaptasi lingkungan anak juga berpengaruh besar terhadap pola pikir mereka. Media juga memegang peranan besar dalam pembentukan kepribadian dan kecerdasan generasi muda. Jika mau menyalahkan tentu semua faktor yang telah disebutkan tersebut akan salah semua.

Coba mari kita lihat fenomena yang berdekatan dengan tawuran pelajar yang juga numpang eksis di media massa. Masih ingat dengan kasus KPK vs Polri yang melibatkan Presiden sekitar 4 bulan yang lalu? Disaat generasi muda mengalami krisis emosional, para petinggi politik ini justru menggelar ‘adu jotos’ sendiri di kursi kekuasaan mereka. Lalu datanglah Presiden sebagai ‘wasit’ diantaranya.

Sandiwara perpolitikan bangsa ini mampu menyeret perhatian publik hingga sekian persen mengalihkan kabar tawuran pelajar yang sebenarnya masalah ini lebih krusial darimana pun. Bagaimana bisa krisis emosi generasi muda dibiarkan? Bisa saja melahirkan KPK vs Polri berikutnya di zaman-zaman lain.

‘Guru kencing berdiri, murid kencing berlari’ bisa dimaknai petinggi Indonesia saja gelut apalagi rakyatnya (pelajar). Budaya ‘sikut-sikutan’ yang mendarah daging di Indonesia ini adalah akar permasalahan tawuran pelajar, tawuran pemerintah juga.

Tawuran pelajar bisa saja terjadi kembali jika kultur ini tidak dihilangkan dari perwajahan budaya-tidak-tertulisnya Indonesia. Mari bentuk karakter sebaik mungkin untuk kader-kader muda bangsa ini !       

inilah.com (Kamis, 27 September 2012)
     

Comments

  1. Menurut saya, hmmm... anak jaman sekarang (dan jaman depan) bakal lebih kehilangan kesabaran karena hidup di lingkungan yang serba instan. Bayangkan, masak nasi saja bisa 15 menit pakai rice cooker. Jadi, untuk sesuatu yang "berproses", saya kira anak bakal jadi kurang sabar. Sekian dan matur nuwun.

    ReplyDelete
  2. mmhh...dari dulu hingga sekarang memang manusia menyukai pertikaian..meski sering kita lontarkan kebencian terhadap pertikaian dan menginginkan damai...

    salam damai..

    ReplyDelete
  3. IQ tinggi tanpa akhlak yg baik = Nol
    self control juga penting tuh ngeliat lingkungan makin nggak keruan. jadi mari baca Al-Qur'an dan Makmurkan Masjid #eh

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

INTO THE WILD: Kisah Tragis sang Petualang Muda

Penulis: Jon Krakauer Penerjemah: Lala Herawati Dharma Penyunting: Maria M. Lubis Penerbit: Qanita Tahun: Februari, 2005 Tebal: 442 halaman “Aku ingin pergerakan dinamis, bukan kehidupan yang tenang. Aku mendambakan kegairahan, bahaya, dan kesempatan untuk mengorbankan diri bagi orang yang kucintai. Aku merasakan di dalam diriku, tumpukan energi sangat besar yang tidak menemukan penyaluran di dalam kehidupan kita yang tenang.” – Leo Tolstoy (“ Family Happines ”) Tokoh utama dalam buku non-fiksi ini adalah Christopher Johnson McCandless, seorang pemuda berusia 24 tahun yang telah merampungkan studinya di Universitas Emory pada tahun 1990. Ia adalah seorang anak dari keluarga kaya di Kota Washington, D.C. Ayahnya, Walt McCandless adalah seorang insinyur angkasa luar yang bekerja untuk perusahaan konsultan miliknya sendiri bernama User System, Inc. Mitra kerjanya adalah ibu Chris, Billie. Chris McCandless pemuda pandai. Ia lulus dengan indeks prestasi kum

Cemburu Itu Peluru

Judul: Cemburu itu Peluru Penulis: Andy Tantono, Erdian Aji, Kika Dhersy Putri, Novita Poerwanto, Oddie Frente   Penerbit: Gramedia Pustaka Utama   Tahun: 2011   Tebal: 160 halaman ISBN: 978-979-22-6868-3 DADAKU SESAK. Puisi yang kugubah sepenuh hati untukmu, kau bacakan pada sahabatku.( @Irfanaulia, via @fiksimini)     Berawal dari sebuah akun twitter @fiksimini, lima penulis antara lain Erdian Aji, Novita Poerwanto, Oddie Frente, Kika Dhersy Putry, dan Andy Tantono berhasil membawa angin segar dalam mengembangkan karya lewat benih fiksi 140 karakter. Singkat, namun ‘ledakan’nya terasa.   Lima penulis ini memiliki masing-masing ciri khas dalam menuliskan fiksinya dan hasilnya jarang mengecewakan. Ide cerita dari 140 karakter menghasilkan beragam cerita super pendek bertema cinta dan kecemburuan. Cinta dalam Cemburu itu Peluru digambarkan begitu dekat dengan realita, senyaman apa pun sengeri bagaimana pun. Cinta dalam Cemburu itu Peluru tidak hanya dimaknai se

Beasiswa LPDP: Mengeja Kemungkinan dengan Keyakinan

Setelah bertahun-tahun blog ini tidak terjamah, saya akhirnya menulis lagi. Akhir-akhir ini saya sering blogwalking tentang berbagai cerita pengirim lamaran beasiswa LPDP. Menarik dan informatif, sehingga saya pun ingin bercerita hal yang sama dengan sudut pandang saya. This is based on true story. Ini berdasarkan pengalaman saya yang mengikuti seleksi periode 3 tahun 2015 yang diselenggarakan sejak April-September. Sebelum Apply Lpdp… Saya ingin share cerita pengalaman saya apply beasiswa LPDP. Beasiswa dari pemerintah yang lagi hits di kalangan pemuda sekarang. Selama kuliah S1, saya tidak pernah punya pengalaman apply beasiswa. Pengetahuan saya seputar beasiswa juga minim. Cuma informasi beasiswa LPDP yang saya baca rigid setelah lulus S1. Saya juga sempat menghadiri seminar sosialisasi beasiswa LPDP di kampus saya. Sekedar flashback, saat pengadaan seminar tersebut ternyata ada sistem kuota yang dijalankan secara o