"Perempuan itu membenarkan jawaban saya lalu kembali berbicara panjang lebar. Sesekali ia menyelipkan ayat-ayat Al-Quran dalam pembicaraannya berikut terjemahan serta makna yang ia yakini. Saya hanya manggut-manggut tak bisa membantah karena saya tidak hapal Al-Quran."
Jam menunjukkan pukul 10.05. Hari Kamis ini saya berniat melanjutkan urusan magang saya di kampus. Saya pergi menuju lantai enam, ke ruang Pembantu Dekan, tempat berkas saya menunggu ditanda tangani.
Namun keberuntungan tidak berpihak pada saya. Setelah saya cek, berkas-berkas saya masih bersih, tak ada coretan, tak ada tanda tangan dari beliau. Akhirnya, saya memutuskan untuk menunggu Pak Sanggar, begitu beliau disapa, di lantai satu.
Lantai satu tempat akses jalan menuju lantai berapa pun, karena disana tersedia lift. Pak Sanggar tidak mungkin tidak menggunakan lift, pikir saya. Saya pun memilih tempat duduk di depan lift tersebut.
Selisih satu bangku di samping saya, ada seorang perempuan berkacamata berjilbab ungu panjang menutup dada. Ia sedang membaca sesuatu, namun saya tidak begitu memperhatikan. Saya memilih sibuk melihat jam pada ponsel saya.
Sepuluh menit berlalu. Perempuan berjilbab di samping saya yang sedari tadi diam tiba-tiba menoleh pada saya dan berucap:
“Mbak, boleh minta waktunya sebentar untuk diskusi?”
Mata saya langsung tertuju pada selebaran dengan tulisan block warna biru “AL-ISLAM” yang dipegang oleh perempuan itu. “HTI, pasti,”pikir saya lama sebelum menjawab ajakannya dengan jawaban: “Oh ya mbak, gak pa-pa, silahkan…”
Perempuan itu kemudian menjabat tangan saya memperkenalkan diri.
Ini bukan pengalaman pertama saya diajak diskusi dengan perempuan berjilbab panjang yang mengatasnamakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sebelumnya sudah pernah tiga kali. Pikiran sambil menunggu Pak Sanggar datang memaksa saya untuk mengiyakan ajakannya berdiskusi.
Perempuan itu pun menggeser posisi duduknya dan memberikan selebaran yang ia yakini sebagai buletin dakwah. Judulnya, “Sistem Gagal Melindungi Wanita dan Anak-anak !”. Sebelum berdiskusi, seperti yang saya ketahui sebelum-sebelumnya, perempuan itu menjelaskan problem yang ia angkat di buletin itu. Saya pun pura-pura meneliti buletinnya sambil sesekali mengangguk tanda saya mendengarkan. Bla, bla, bla……
“Jadi kalau menurut mbak, apa sih yang menyebabkan kekerasan wanita dan anak-anak?” tanyanya setelah berbicara cukup panjang.
Waduh. Apa ya?
Saya jawab saja sekenanya, “itu gara-gara faktor ekonomi dan psikologis mungkin mbak.”
Perempuan itu membenarkan jawaban saya lalu kembali berbicara panjang lebar. Sesekali ia menyelipkan ayat-ayat Al-Quran dalam pembicaraannya berikut terjemahan serta makna yang ia yakini. Saya hanya manggut-manggut tak bisa membantah karena saya tidak hapal Al-Quran.
Setelah berbicara panjang lebar, perempuan itu pun menyimpulkan bahwa kesalahan sistem pemerintahan-lah yang menyebabkan permasalahan kekerasan wanita dan anak. Pemerintah Indonesia yang berbasis demokrasi namun cenderung kapitalis, sehingga kebebasan berpendapat itu hanya milik orang-orang ‘berada’. “Mbak lihat aja pemilik media sekarang, mereka lebih mementingkan profit daripada kualitas,” serunya.
Nah !
Saya malah menangkap inti lain dari pembicaraan perempuan itu. Sebelumnya saya juga pernah berdiskusi dengan perempuan HTI dan ujung-ujungnya menyalahkan kinerja pemerintah. Katanya, pemerintah terlalu kebarat-baratan dan sebagainya.
Lalu seperti yang saya pikirkan, perempuan itu akhirnya berkata,
“Kalau saya mbak, lebih setuju dengan sistem pemerintahan berbasis Islam, ini sudah terbukti berhasil di zaman Rasulullah yang menerapkan sistem kekhalifahan. Allah juga berjanji mbak, kalau suatu saat nanti di suatu negara akan menerapkan kembali sistem kekhalifahan…”
“Kalau mbak sendiri, yakin tidak jika pemerintahan Indonesia menerapkan sistem kekhalifahan Islam maka akan berjaya seperti zaman Rasulullah dahulu?” tanyanya kemudian pada saya.
Hmm…pertanyaan ini saya sudah pernah jawab sebelumnya…
“Ya, belum yakin mbak, soalnya kan negara kita itu majemuk, banyak perbedaan suku dan agama, kalau misalnya Indonesia menerapkan sistem kekhalifahan, takutnya nanti malah terjadi diskriminasi. Penduduk yang beragama Islam akan hidup layak, yang non-Islam nanti akan dikesampingkan,” jawabku.
Perempuan itu langsung menyahut,
“Nah, mbak belum yakin gara-gara akan terjadi diskriminasi agama ya? Dulu di zaman Rasulullah, sistem kekhalifahan tidak memandang agama. Orang Nasrani, Yahudi, hidup sejahtera seperti umat Muslim yang lain. Lagian mbak, kalo pemerintah Indonesia itu tidak condong pada kapitalis yang kebanyakan dianut orang-orang kafir, pendidikan di negeri ini ga mungkin mahal, semuanya akan gratis. Islam kan mewajibkan umatnya menuntut ilmu, sehingga pendidikan dipermudah,” jelasnya panjang lebar.
Pikiran saya mulai rancu dengan penjelasan perempuan itu. Ia mencontohkan sistem kekhalifahan Islam berhasil pada zaman Rasulullah. Saya pun menyanggah,
“Mbak tadi kan mencontohkan sistem kekhalifahan berhasil pada zaman Rasulullah, lha sekarang ini lo zaman modern, yang ga ada di zaman Rasulullah sekarang itu ada. Permasalahan khalifah dulu tidak bisa disamakan dengan permasalahan pemerintah sekarang yang sangat kompleks. Ambil contoh kecil, dulu ga ada yang namanya internet, khalifah dulu juga ga kenal internet. Sekarang? orang-orang pake internet, sampai ada kejahatan yang disebabkan internet. Pemerintah kewalahan dan akhirnya membuat UU ITE. Kalau dulu, sampai Rasul wafat pun ga ada hadist tentang internet…”
Saya melanjutkan,
“Orang-orang zaman Rasul dulu masih mayoritas baik, nurut-nurut sama Rasul. Secara Rasul makhluk pilihan, yang otak dan hatinya sudah dicuci sama malaikat, tidak ada sifat-sifat jelek, makhluk paling sempurna. Dibanding pemimpin sekarang? SBY juga manusia biasa, yang otak dan hatinya tidak pernah dicuci malaikat, yang memimpin jutaan rakyat dengan pemikiran tak sama,” kata saya
“Saya percaya mbak, ajaran Islam itu sempurna. Tapi memaksakan sistem khalifah diterapkan di negeri ini juga seperti menambah masalah…”tutup saya.
Perempuan itu tersenyum kemudian diam sejenak. Lalu saya yang mencoba melontarkan pertanyaan:
“Mbak, kalau sistem khalifah yang menurut mbak itu berhasil, siapa kira-kira yang mau dan mampu menerapkan? Oh ya, pemimpinnya HTI mau jadi presiden ya? kok getol banget menyerukan sistem khalifah itu berhasil?” tanya saya pura-pura lugu.
Perempuan itu tertawa kecil. “HTI itu memang partai politik internasional tapi tidak masuk parlemen. HTI punya cabang di seluruh negara, di Amerika pun ada. Tapi kita tidak bermaksud merebut kekuasaan tujuannya. Kita hanya berniat mengkaji Islam kemudian mendakwahkannya pada orang lain. Mengkaji Islam itu wajib mbak hukumnya,” jawabnya.
“Kita mengajak diskusi seperti ini ikhlas kok. Tujuannya berdakwah,” imbuhnya.
Saya pun diam.
Pembicaraan yang panjang itu hampir selesai. Perempuan yang memangku map plastik berisi buletin dakwah HTI itu kemudian mengelurkan ponselnya.
“Mbak Ely, saya boleh minta nomernya? Nanti kapan-kapan saya mau diskusi lagi dengan mbak,” pintanya.
Saya tersenyum lalu menjawab, “saya kelayapan terus kok di kampus, kalau mau ngajak diskusi lagi silahkan,” meski dalam hati saya berharap tidak akan sering bertemu dia dan kawan-kawan HTI yang lain. Takut direkrut.
Sebelum beranjak dari tempat duduk, perempuan itu sempat mengajak saya untuk hadir dalam perkumpulan HTI setiap hari Jumat. Namun, dengan sangat yakin saya menolak ajakannya karena alasan kesibukan.
Akhirnya, perempuan yang telah saya lupakan namanya itu kemudian berterima kasih pada saya. Lalu beranjak pergi.
Kamis, 14 Februari 2013
corbisimages.com
Tulisan
ini murni cerita dari pengalaman saya berikut sudut pandang saya menanggapinya.
Tidak ada maksud untuk menyudutkan pihak dalam cerita. Saya berharap, siapa pun
yang membaca tulisan ini bisa menghargai kebebasan berpendapat. Terima
Kasih.
|
saya pernah secara ekstrim beberapa x didatangi gerombolan ikhwan untuk ikut 'berdakwah' seperti mereka karena merasa saya calon potensial, tapi buat saya sendiri sih, tidak kepikiran sampai segitunya, memperjuangkan islam tidak selalu dengan hal semacam itu, dan saya memilih untuk tidak terdogma dalam satu aliran :)
ReplyDeleteIlmu yang baik harus disampaikan dengan cara yang baik. Rasulullah memiliki cara atau pendekatan personality dalam berdakwah sehingga Islam diterima sebagai agama yang damai untuk semua umat dalam masa kekhalifahannya. Hal ini yang memang sebaiknya kita pelajari.
ReplyDeleteRasulullah tau kapan harus bertoleransi dalam muamalah, dan kapan harus menjaga aqidah tanpa menyudutkan atau merendahkan umat lain. Semoga kita bisa meneladani beliau :)
wah.. asyik nih pembicaraannya
ReplyDeleteBegitu yang tidak saya suka dari HTI karena mencela pemerintah dg tidak memandang tempat. Sebenarnya jika mau memberikan saran kepada pemerintah hendaknya secara tertutup sehingga tidak mempengaruhi orang lain. Maksudnya agar tidak memicu kerusuhan orang banyak dan menyebabkan perpecahan serta kebencian terhadap pemerintah. Karena pemerintah sudah berusaha maksimal mengatur penduduknya. Dan sebagai umat muslim kita wajib mentaati pemerintah.
salam
kalo ane berusaha menghargai usaha seseorang. misalnya kita menginginkan kondisi yang lebih baik, maka kita lakukan dari diri kita sendiri jika sudah merasa mampu kemudian ke area yang lebih besar(keluarga mungkin). karena saya yakin bahwa untuk mencapai suatu kebaikan itu tidak bisa dicapai sendirian, membutuhkan kerjasama dalam persatuan untuk mewujudkan tujuan itu. jadi kalo emang itu adalah tujuan mereka untuk membuat indonesia lebih baik, saya akan membiarkan mereka.
ReplyDelete@ely ini tulisan yang bagus sekali.
el_ada_pertanyaan_besar_dari_tulisanmu__pemerintahan_kholifah_kongkritnya_seperti_apa?
ReplyDelete@asrur rodzi: sebaiknya ditanyakan kepada yang transfer wacana saja. Atau buka lagi buku sejarah Islam zaman khalifah Rasul...
ReplyDelete