Cerita sebelumnya klik PJTL bagian 4: Angkringan
“Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya , tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini".”― Pramoedya Ananta Toer
Tommy Apriando (diambil dari facebook) |
Pemateri setelah Bung Imam didatangkan dari
Yogyakarta. Namanya Tommy Apriando. Ia lebih muda dari Bung Imam. Peserta
kompak memanggilnya Mas Tommy. Sesuai dengan tulisan di banner yang dipasang di ruangan, Tommy Apriando adalah seorang
reporter sebuah situs lingkungan yang sama sekali belum pernah saya dengar
sebelumnya: Mongabay Indonesia.
Berbeda dengan Bung Imam secara fisik yang
bertubuh kecil dan memiliki suara lirih pula, Mas Tommy bertubuh besar dan
bersuara berat. Materi pertama yang ia sampaikan adalah Sepuluh Elemen Jurnalisme-nya
Bill Kovach dan Tom Rosentiel.
“Awalnya Bill Kovach dan Tom Rosentiel
menuliskan sembilan elemen jurnalisme sebagai tolak ukur kinerja para jurnalis.
Elemen kesepuluh kemudian ditambahkan karena munculnya era new media atau internet yang ikut memberikan pengaruh pada
perkembangan media,” jelas Mas Tommy sambil berdiri menghadap ke arah peserta.
Sepuluh elemen jurnalisme sudah selesai
dijelaskan, kemudian peserta diminta untuk bergabung pada kelompok liputannya
untuk kembali mencari berita. Kelompoknya sama seperti ketika pergi liputan ke
Pasar Johar. Pendampingnya Mas Edo. Namun, kali ini, lokasi kelompok saya
adalah di sekitar Tugu Muda.
Target narasumber seperti yang diminta Mas Tommy
dan panitia adalah anak jalanan. Jam menunjukkan pukul 3 sore. Saya dan
kelompok pun langsung bergegas menuju Tugu Muda. Suasana Tugu Muda sejuk sore
itu, langitnya makin indah ketika beradu warna dengan jingga senja. Saya dengan
teman-teman lain yang belum punya bayangan untuk menentukan target narasumber duduk-duduk
sejenak di dekat kolam Tugu Muda, sambil brainstorming.
Akhirnya, saya dengan Ni’mah memutuskan untuk
menghampiri anak jalanan yang sedang mengamen di seberang jalan Tugu Muda,
tepatnya di depan pos polisi. Ni’mah langsung menghampiri dua anak perempuan
yang sedang bermain di pinggir jalan. Saya memberanikan diri untuk memanggil
anak laki-laki yang mengamen kemudian menepi karena lampu hijau sudah menyala.
***
Saya pun mulai menulis:
Lampu traffic
menunjukkan warna merah. Kendaraan yang dikemudikan pengendaranya berhenti
di batas zebra cross, menunggu lampu
hijau menyala tanda kendaraan mereka diperbolehkan melaju kembali. Selama lampu
merah menyala, sekitar 60 detik, tiga bocah lelaki yang masing-masing
mengenakan kaos oblong lusuh dan celana pendek mulai mendekati para pengendara
sambil mengadahkan tangan. Lampu hijau kembali menyala, tiga bocah tersebut
kembali ke pinggir jalan menunggu lampu merah menyala kembali. Begitu
seterusnya hingga pukul 9 malam, kemudian mereka baru pulang ke rumah
masing-masing.
Salah satu dari tiga bocah tersebut adalah Yudha
Siswanto. Bocah itu berumur 14 tahun. Ia tidak bersekolah. Pendidikannya
sebatas kelas 4 sekolah dasar, setelah itu ia bebas hidup di jalanan. Tidak jelas
mengapa sekolahnya harus putus. Yudha hanya mampu mengingat jalanan adalah
hidupnya, sejak masih kecil. Ibunya dahulu pengemis dan Yudha bekerja sebagai
tukang ojek. Yudha memiliki tiga saudara yang menunggu recehan yang ia dapatkan
setiap malam.
Yudha menyukai hidupnya di jalanan, karena
alasan konkrit yaitu kebebasan. Ya, Yudha bisa bebas dengan hidup di jalan
apalagi menghasilkan uang.
Di seberang jalan traffic light tempat Yudha ‘bertugas’, seorang polisi lalu lintas
lengkap dengan rompi hijau terlihat mengamankan pengendara yang rupanya
melakukan pelanggaran. Sepuluh menit kemudian polisi tersebut keluar kembali ke
jalan dan pengendara tersebut diizinkan melanjutkan perjalanan. Menariknya,
kantor polisi tempatnya bertugas memasang banner
bertuliskan:
“Hari Anti Kekerasan Perempuan dan Anak” baris
selanjutnya:
“Anak adalah aset keluarga dan bangsa.
Bahagiakan dan jauhkan mereka dari kekerasan” lengkap dengan visualisasi polisi
wanita. Banner ini seperti
menggambarkan bagaimana polisi menunjukkan kepeduliannya terhadap perempuan dan
anak.
Saya mencoba mengklarifikasi kepada polisi yang
sedari tadi sibuk mengamankan beberapa pengendara karena pelanggaran mereka.
Polisi tersebut akan mengakhiri tugasnya hari ini karena hari sudah larut sore.
Tjutjuk namanya. Sambil memainkan Handy
Talkie, ia menjawab pertanyaan saya. “Anak jalanan itu ada yang menertibkan
sendiri yaitu Satpol PP. Polisi tidak berhak mengurusi,” terang Tjutjuk. Ia pun
menambahkan kewenangannya hanya menertibkan lalu lintas………
***
Tulisan itu belum rampung dan hanya sebatas
tulisan tangan di atas kertas HVS putih, karena Mas Tommy memutuskan untuk
mengevaluasi tulisan peserta sebelum berangkat PJTL. Waktu itu memang panitia
mengharuskan tiap peserta menulis features
tentang anak jalanan sebagai syarat mengikuti pelatihan ini.
PUNA (Putra-Tina) judul tulisan features saya. Judul itu saya ambil dari
nama anak jalanan yang biasa mangkal di lampu lalu lintas Jalan Veteran,
Malang. Tulisan tiap peserta dievaluasi satu per satu, diteliti oleh Mas Tommy
dan peserta lain juga hingga menghabiskan waktu lama.
Giliran tulisan saya yang dievaluasi.
…Pinggir jalanan Kampus
Biru itu masih terlihat beberapa warung kopi yang membuka lapak mereka…
“Jurnalisme sastrawi itu bukan karya sastra,
tapi fakta yang dinarasikan. Jadi istilah-istilah yang tidak dimengerti pembaca
seperti penggunaan Kampus Biru, tolong diperjelas. Istilah Kampus Biru bukan
hanya Brawijaya saja yang menggunakan…” jelas Mas Tommy panjang lebar. Ia pun
menambahkan tulisan saya terlalu bertele-tele, tidak langsung fokus ke inti
permasalahan.
Lalu lanjut ke tulisan-tulisan berikutnya.
Beberapa peserta diberi apresiasi berupa pujian oleh Mas Tommy karena
tulisannya lumayan bisa dinikmati.
Jam menunjukkan pukul 12 dini hari. Peserta disilahkan
beristirahat karena esok adalah hari pamungkas PJTL…
(BERSAMBUNG)
Comments
Post a Comment