Skip to main content

PJTL Bagian 5: Anak-anak Lalin

Cerita sebelumnya klik PJTL bagian 4: Angkringan

“Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya , tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini".”― Pramoedya Ananta Toer

Tommy Apriando 
(diambil dari facebook)

Pemateri setelah Bung Imam didatangkan dari Yogyakarta. Namanya Tommy Apriando. Ia lebih muda dari Bung Imam. Peserta kompak memanggilnya Mas Tommy. Sesuai dengan tulisan di banner yang dipasang di ruangan, Tommy Apriando adalah seorang reporter sebuah situs lingkungan yang sama sekali belum pernah saya dengar sebelumnya: Mongabay Indonesia.

Berbeda dengan Bung Imam secara fisik yang bertubuh kecil dan memiliki suara lirih pula, Mas Tommy bertubuh besar dan bersuara berat. Materi pertama yang ia sampaikan adalah Sepuluh Elemen Jurnalisme-nya Bill Kovach dan Tom Rosentiel.

“Awalnya Bill Kovach dan Tom Rosentiel menuliskan sembilan elemen jurnalisme sebagai tolak ukur kinerja para jurnalis. Elemen kesepuluh kemudian ditambahkan karena munculnya era new media atau internet yang ikut memberikan pengaruh pada perkembangan media,” jelas Mas Tommy sambil berdiri menghadap ke arah peserta.

Sepuluh elemen jurnalisme sudah selesai dijelaskan, kemudian peserta diminta untuk bergabung pada kelompok liputannya untuk kembali mencari berita. Kelompoknya sama seperti ketika pergi liputan ke Pasar Johar. Pendampingnya Mas Edo. Namun, kali ini, lokasi kelompok saya adalah di sekitar Tugu Muda.

Target narasumber seperti yang diminta Mas Tommy dan panitia adalah anak jalanan. Jam menunjukkan pukul 3 sore. Saya dan kelompok pun langsung bergegas menuju Tugu Muda. Suasana Tugu Muda sejuk sore itu, langitnya makin indah ketika beradu warna dengan jingga senja. Saya dengan teman-teman lain yang belum punya bayangan untuk menentukan target narasumber duduk-duduk sejenak di dekat kolam Tugu Muda, sambil brainstorming.

Akhirnya, saya dengan Ni’mah memutuskan untuk menghampiri anak jalanan yang sedang mengamen di seberang jalan Tugu Muda, tepatnya di depan pos polisi. Ni’mah langsung menghampiri dua anak perempuan yang sedang bermain di pinggir jalan. Saya memberanikan diri untuk memanggil anak laki-laki yang mengamen kemudian menepi karena lampu hijau sudah menyala.


*** 

Saya pun mulai menulis:

Lampu traffic menunjukkan warna merah. Kendaraan yang dikemudikan pengendaranya berhenti di batas zebra cross, menunggu lampu hijau menyala tanda kendaraan mereka diperbolehkan melaju kembali. Selama lampu merah menyala, sekitar 60 detik, tiga bocah lelaki yang masing-masing mengenakan kaos oblong lusuh dan celana pendek mulai mendekati para pengendara sambil mengadahkan tangan. Lampu hijau kembali menyala, tiga bocah tersebut kembali ke pinggir jalan menunggu lampu merah menyala kembali. Begitu seterusnya hingga pukul 9 malam, kemudian mereka baru pulang ke rumah masing-masing.

Salah satu dari tiga bocah tersebut adalah Yudha Siswanto. Bocah itu berumur 14 tahun. Ia tidak bersekolah. Pendidikannya sebatas kelas 4 sekolah dasar, setelah itu ia bebas hidup di jalanan. Tidak jelas mengapa sekolahnya harus putus. Yudha hanya mampu mengingat jalanan adalah hidupnya, sejak masih kecil. Ibunya dahulu pengemis dan Yudha bekerja sebagai tukang ojek. Yudha memiliki tiga saudara yang menunggu recehan yang ia dapatkan setiap malam.

Yudha menyukai hidupnya di jalanan, karena alasan konkrit yaitu kebebasan. Ya, Yudha bisa bebas dengan hidup di jalan apalagi menghasilkan uang.

Di seberang jalan traffic light tempat Yudha ‘bertugas’, seorang polisi lalu lintas lengkap dengan rompi hijau terlihat mengamankan pengendara yang rupanya melakukan pelanggaran. Sepuluh menit kemudian polisi tersebut keluar kembali ke jalan dan pengendara tersebut diizinkan melanjutkan perjalanan. Menariknya, kantor polisi tempatnya bertugas memasang banner bertuliskan:

“Hari Anti Kekerasan Perempuan dan Anak” baris selanjutnya:

“Anak adalah aset keluarga dan bangsa. Bahagiakan dan jauhkan mereka dari kekerasan” lengkap dengan visualisasi polisi wanita. Banner ini seperti menggambarkan bagaimana polisi menunjukkan kepeduliannya terhadap perempuan dan anak.



Saya mencoba mengklarifikasi kepada polisi yang sedari tadi sibuk mengamankan beberapa pengendara karena pelanggaran mereka. Polisi tersebut akan mengakhiri tugasnya hari ini karena hari sudah larut sore. Tjutjuk namanya. Sambil memainkan Handy Talkie, ia menjawab pertanyaan saya. “Anak jalanan itu ada yang menertibkan sendiri yaitu Satpol PP. Polisi tidak berhak mengurusi,” terang Tjutjuk. Ia pun menambahkan kewenangannya hanya menertibkan lalu lintas………

***

Tulisan itu belum rampung dan hanya sebatas tulisan tangan di atas kertas HVS putih, karena Mas Tommy memutuskan untuk mengevaluasi tulisan peserta sebelum berangkat PJTL. Waktu itu memang panitia mengharuskan tiap peserta menulis features tentang anak jalanan sebagai syarat mengikuti pelatihan ini.

PUNA (Putra-Tina) judul tulisan features saya. Judul itu saya ambil dari nama anak jalanan yang biasa mangkal di lampu lalu lintas Jalan Veteran, Malang. Tulisan tiap peserta dievaluasi satu per satu, diteliti oleh Mas Tommy dan peserta lain juga hingga menghabiskan waktu lama.

Giliran tulisan saya yang dievaluasi.

…Pinggir jalanan Kampus Biru itu masih terlihat beberapa warung kopi yang membuka lapak mereka…

“Jurnalisme sastrawi itu bukan karya sastra, tapi fakta yang dinarasikan. Jadi istilah-istilah yang tidak dimengerti pembaca seperti penggunaan Kampus Biru, tolong diperjelas. Istilah Kampus Biru bukan hanya Brawijaya saja yang menggunakan…” jelas Mas Tommy panjang lebar. Ia pun menambahkan tulisan saya terlalu bertele-tele, tidak langsung fokus ke inti permasalahan.

Lalu lanjut ke tulisan-tulisan berikutnya. Beberapa peserta diberi apresiasi berupa pujian oleh Mas Tommy karena tulisannya lumayan bisa dinikmati.

Jam menunjukkan pukul 12 dini hari. Peserta disilahkan beristirahat karena esok adalah hari pamungkas PJTL…


(BERSAMBUNG)

                      

Comments

Popular posts from this blog

INTO THE WILD: Kisah Tragis sang Petualang Muda

Penulis: Jon Krakauer Penerjemah: Lala Herawati Dharma Penyunting: Maria M. Lubis Penerbit: Qanita Tahun: Februari, 2005 Tebal: 442 halaman “Aku ingin pergerakan dinamis, bukan kehidupan yang tenang. Aku mendambakan kegairahan, bahaya, dan kesempatan untuk mengorbankan diri bagi orang yang kucintai. Aku merasakan di dalam diriku, tumpukan energi sangat besar yang tidak menemukan penyaluran di dalam kehidupan kita yang tenang.” – Leo Tolstoy (“ Family Happines ”) Tokoh utama dalam buku non-fiksi ini adalah Christopher Johnson McCandless, seorang pemuda berusia 24 tahun yang telah merampungkan studinya di Universitas Emory pada tahun 1990. Ia adalah seorang anak dari keluarga kaya di Kota Washington, D.C. Ayahnya, Walt McCandless adalah seorang insinyur angkasa luar yang bekerja untuk perusahaan konsultan miliknya sendiri bernama User System, Inc. Mitra kerjanya adalah ibu Chris, Billie. Chris McCandless pemuda pandai. Ia lulus dengan indeks prestasi kum...

Beasiswa LPDP: Mengeja Kemungkinan dengan Keyakinan

Setelah bertahun-tahun blog ini tidak terjamah, saya akhirnya menulis lagi. Akhir-akhir ini saya sering blogwalking tentang berbagai cerita pengirim lamaran beasiswa LPDP. Menarik dan informatif, sehingga saya pun ingin bercerita hal yang sama dengan sudut pandang saya. This is based on true story. Ini berdasarkan pengalaman saya yang mengikuti seleksi periode 3 tahun 2015 yang diselenggarakan sejak April-September. Sebelum Apply Lpdp… Saya ingin share cerita pengalaman saya apply beasiswa LPDP. Beasiswa dari pemerintah yang lagi hits di kalangan pemuda sekarang. Selama kuliah S1, saya tidak pernah punya pengalaman apply beasiswa. Pengetahuan saya seputar beasiswa juga minim. Cuma informasi beasiswa LPDP yang saya baca rigid setelah lulus S1. Saya juga sempat menghadiri seminar sosialisasi beasiswa LPDP di kampus saya. Sekedar flashback, saat pengadaan seminar tersebut ternyata ada sistem kuota yang dijalankan secara o...

Cemburu Itu Peluru

Judul: Cemburu itu Peluru Penulis: Andy Tantono, Erdian Aji, Kika Dhersy Putri, Novita Poerwanto, Oddie Frente   Penerbit: Gramedia Pustaka Utama   Tahun: 2011   Tebal: 160 halaman ISBN: 978-979-22-6868-3 DADAKU SESAK. Puisi yang kugubah sepenuh hati untukmu, kau bacakan pada sahabatku.( @Irfanaulia, via @fiksimini)     Berawal dari sebuah akun twitter @fiksimini, lima penulis antara lain Erdian Aji, Novita Poerwanto, Oddie Frente, Kika Dhersy Putry, dan Andy Tantono berhasil membawa angin segar dalam mengembangkan karya lewat benih fiksi 140 karakter. Singkat, namun ‘ledakan’nya terasa.   Lima penulis ini memiliki masing-masing ciri khas dalam menuliskan fiksinya dan hasilnya jarang mengecewakan. Ide cerita dari 140 karakter menghasilkan beragam cerita super pendek bertema cinta dan kecemburuan. Cinta dalam Cemburu itu Peluru digambarkan begitu dekat dengan realita, senyaman apa pun sengeri bagaimana pun. Cinta dalam Cemburu itu P...