Skip to main content

Capung Merah (Sebuah Fiksi)


Aku kemarin berkunjung ke salah satu kebun binatang di tengah kota. Hewan liar, hewan melata, dan macam-macam unggas dipamerkan dengan sekat-sekat kandang tembus pandang. Demi keamanan dan kebersihan kata petugas. Aku hanya mengambil gambar dengan kamera digitalku.

Aku berjalan menuju ruangan yang memamerkan kerangka hewan-hewan purba. Ukuran mereka 10 kali lebih besar dari ukuran hewan yang ada di zaman sekarang. Bersebelahan dengan ruangan serangga. Aku tak berani masuk. Takut mereka bisa saja masuk kuping dan mengganggu pemandangan.

Tapi, konsep imajinasiku terlalu berlebihan. Serangga-serangga itu dibekukan. Dipajang di etalase kaca yang menempel di dinding-dinding sepanjang tembok ruangan itu.

Aku terpaku. Segala jenis serangga dari berbagai jenis, wilayah, dan zaman ditata apik, ditambah warna-warninya yang memanjakan mata. Kaki seribu, kecoa, lalat, nyamuk, kupu-kupu, capung…

Dan, hei! Pandanganku terpesona dengan seekor capung merah. Aku memandanginya dengan seksama sambil senyum-senyum sendiri. Cantik.

Ah, andai ia bisa terbang. Tidak beku. Kemudian aku jadi kesal sendiri.

***




Aku mengenal seorang fotografer ketika ia menyapaku terlebih dahulu. Aku bertemu dengannya sewindu lalu, di pematang sawah desa.  Aku duduk di gubuk, memperhatikan gayanya mengambil gambar. Objek yang difoto tidak jelas. Bukan pemandangan sawah, langit, gubuk, atau aku. Ia malah sibuk memutar-mutar lensa kameranya ke arah ilalang berhadapan langsung dengan sungai keruh.

Dahiku berkerut, bingung. Kemudian terpaksa tersenyum kecil ketika fotografer itu berbalik badan dan memandang ke arahku. Tersenyum juga.

“Lihat fotoku, neng.” Kemudian dia yang belum ku kenal menghampiriku dan duduk di sebelahku, menunjukkan hasil fotonya.

“Bagus, ndak?” Ia bertanya.

Aku tersenyum ke arahnya dan mengangguk. Ia baru saja berhasil menangkap foto seekor capung merah.

Lalu, fotografer itu pergi begitu saja tanpa memberi tahuku nama. Aku hanya melihat kaosnya bertulisakan SAVE ODONATA.

Odonata?

***

Hujan-hujan di malam hari membuat suara genteng menjadi bising. Aku lihat ibuku masih terjaga di ruang tamu. Aku menemaninya duduk.

Tiba-tiba di atas lampu ruang tamu terdengar bunyi: krek…krek…krek…

Aku dan ibuku spontan melihat ke atas.

“Lampunya mau mati, bu…” kataku.“Tidak, itu suara capung,” jawab ibuku.

Aku mendongak ke atas lagi. Bukannya capung harusnya terbang di sawah? tersesat mungkin. Capung itu terbang ke arah asbak di atas meja.

Capung merah.

***

Aku tidak bisa tidur dan memutuskan berselancar di jejaring internet. Dunia tanpa sekat akhirnya aku jalani. Klik.

Saat ini di berbagai wilayah di Indonesia, banyak areal persawahan (terutama dalam pertanian modern) sudah bergantung pada pestisida. Capung dan serangga-serangga lain yang tidak tahan terpaksa pergi. Begitu juga jika sungai-sungai kotor. Capung-capung enggan bertelur di lokasi tersebut. Sementara habitat capung yang sudah digantikan dengan gedung-gedung tinggi juga membuat capung hanya tinggal cerita.

Begitu tulis sebuah artikel di media online berbasis lingkungan.

***

Matahari mulai terik. Aku terbangun karena sinarnya silau di mata, memaksa menembus kelambu jendela kamarku. Sebuah bel sepeda motor terdengar kencang. Tukang pos. Selama ini tidak ada anggota keluargaku yang menerima surat. Komunikasi kan sudah canggih.

“Terima kasih pak,” kataku pada bapak tukang pos setelah menandatangani surat terima. Tetap bingung.

Pengirim:
Fotografer Odonata
Jalan Air Jernih nomor 1
Kota Budaya, 0410

Isi amplop coklat itu adalah cetakan foto sebanyak lima biji.

Ada pesan: Odonata adalah predator. Predator berjasa. Lindungi ya…

Kelima foto itu adalah foto capung warna-warni. Salah satunya capung warna merah.

Aku tersenyum. Pasti dia.


***

Aku baru belajar memegang kamera hari ini. Objek yang aku bidik masih tidak fokus. Aku menyerah.

Aku memilih duduk di pinggir kolam yang airnya deras dari pancuran. Segar. Bunga-bunga sedang mekar. Lalu temanku berteriak:

“Lihat! serangga ini lucu sekali!”

Ku lihat.

Sepasang capung merah beterbangan disekitarku.

***




Comments

  1. Menarik sekali pengalamannya, saya juga tertarik dengan capung, jenis itu seperti spesies Neurothemis sp ya...

    ReplyDelete
  2. Saya suka capung merah dan puisi2 dramatismu!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

INTO THE WILD: Kisah Tragis sang Petualang Muda

Penulis: Jon Krakauer Penerjemah: Lala Herawati Dharma Penyunting: Maria M. Lubis Penerbit: Qanita Tahun: Februari, 2005 Tebal: 442 halaman “Aku ingin pergerakan dinamis, bukan kehidupan yang tenang. Aku mendambakan kegairahan, bahaya, dan kesempatan untuk mengorbankan diri bagi orang yang kucintai. Aku merasakan di dalam diriku, tumpukan energi sangat besar yang tidak menemukan penyaluran di dalam kehidupan kita yang tenang.” – Leo Tolstoy (“ Family Happines ”) Tokoh utama dalam buku non-fiksi ini adalah Christopher Johnson McCandless, seorang pemuda berusia 24 tahun yang telah merampungkan studinya di Universitas Emory pada tahun 1990. Ia adalah seorang anak dari keluarga kaya di Kota Washington, D.C. Ayahnya, Walt McCandless adalah seorang insinyur angkasa luar yang bekerja untuk perusahaan konsultan miliknya sendiri bernama User System, Inc. Mitra kerjanya adalah ibu Chris, Billie. Chris McCandless pemuda pandai. Ia lulus dengan indeks prestasi kum

Cemburu Itu Peluru

Judul: Cemburu itu Peluru Penulis: Andy Tantono, Erdian Aji, Kika Dhersy Putri, Novita Poerwanto, Oddie Frente   Penerbit: Gramedia Pustaka Utama   Tahun: 2011   Tebal: 160 halaman ISBN: 978-979-22-6868-3 DADAKU SESAK. Puisi yang kugubah sepenuh hati untukmu, kau bacakan pada sahabatku.( @Irfanaulia, via @fiksimini)     Berawal dari sebuah akun twitter @fiksimini, lima penulis antara lain Erdian Aji, Novita Poerwanto, Oddie Frente, Kika Dhersy Putry, dan Andy Tantono berhasil membawa angin segar dalam mengembangkan karya lewat benih fiksi 140 karakter. Singkat, namun ‘ledakan’nya terasa.   Lima penulis ini memiliki masing-masing ciri khas dalam menuliskan fiksinya dan hasilnya jarang mengecewakan. Ide cerita dari 140 karakter menghasilkan beragam cerita super pendek bertema cinta dan kecemburuan. Cinta dalam Cemburu itu Peluru digambarkan begitu dekat dengan realita, senyaman apa pun sengeri bagaimana pun. Cinta dalam Cemburu itu Peluru tidak hanya dimaknai se

Beasiswa LPDP: Mengeja Kemungkinan dengan Keyakinan

Setelah bertahun-tahun blog ini tidak terjamah, saya akhirnya menulis lagi. Akhir-akhir ini saya sering blogwalking tentang berbagai cerita pengirim lamaran beasiswa LPDP. Menarik dan informatif, sehingga saya pun ingin bercerita hal yang sama dengan sudut pandang saya. This is based on true story. Ini berdasarkan pengalaman saya yang mengikuti seleksi periode 3 tahun 2015 yang diselenggarakan sejak April-September. Sebelum Apply Lpdp… Saya ingin share cerita pengalaman saya apply beasiswa LPDP. Beasiswa dari pemerintah yang lagi hits di kalangan pemuda sekarang. Selama kuliah S1, saya tidak pernah punya pengalaman apply beasiswa. Pengetahuan saya seputar beasiswa juga minim. Cuma informasi beasiswa LPDP yang saya baca rigid setelah lulus S1. Saya juga sempat menghadiri seminar sosialisasi beasiswa LPDP di kampus saya. Sekedar flashback, saat pengadaan seminar tersebut ternyata ada sistem kuota yang dijalankan secara o