Skip to main content

Autisme: Antara Keterbatasan, Nasib Hidup, dan Payung Hukum


“Autisme bukanlah kutukan atau akhir dari segalanya, tetapi awal dari perjuangan panjang” – Sekolah Autisme Al-Ihsan.


Ilustrasi Anak Autis

Menjadi orang normal bagi kita adalah wajar. Menjalani kehidupan dengan lingkungan, berinteraksi, berkomunikasi dengan lancar adalah tuntutan tersendiri agar kita bisa mendapat kesempatan mengenal dunia. Dan sampai kita hidup di umur ke sekian ini, kita tidak pernah membayangkan menjadi orang yang berbeda dengan orang normal.

Tulisan ini tidak membahas tentang orang tidak normal atau orang gila. Tulisan ini akan membahas tentang anak autis. Orang normal kebanyakan tahu kata autis, tapi tidak sepenuhnya paham tentang apa itu autis. Mereka cuma tahu anak yang tidak berlaku normal, pasti disebut gila. Padahal kenyataannya, autis bukan gila. Sekali lagi, autis bukan gila.

Menurut web anakluarbiasa.com autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah autisme diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau. Jadi, para penyandang autis mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dan bersosialisasi dengan orang lain.


Faktor yang menyebabkan autisme bermacam-macam. Faktor genetik, kelainan otak, adanya kerusakan atau berkurangnya jumlah sel syaraf, kelainan peptida di otak, komplikasi saat hamil dan persalinan, kekebalan tubuh, dan bisa juga karena keracunan logam berat timah hitam, arsen, antimony, cadmium, dan merkuri yang berasal dari polusi udara, air ataupun makanan.

Ciri-ciri autisme biasanya ditandai dengan kurangnya minat seperti orang biasanya, sering tertawa berlebihan namun tidak sesuai keadaan, tidak menyukai cara baru, mengulangi percakapan yang sama, seringkali tidak melakukan eye contact ketika diajak bicara, tidak bermain dengan anak lain, mengibas-ibaskan tangan, dan hanya mau berkumpul dengan teman sebayanya jika dipaksa. Namun, ciri-ciri tersebut tidak semuanya ditunjukkan oleh anak penyandang autis. Ada anak autis yang tidak menunjukkan tingkah laku tersebut.

Ciri-ciri Autisme

Saya pernah interview dengan seorang ibu yang mempunyai dua orang putra. Keduanya penyandang autis. Ibu ini bercerita mendidik anak autis memang tidak semudah mendidik anak normal. Perlu kesabaran ekstra dan menjauhkan diri dari sifat gengsi. Kadang, anak autis tidak bisa mengendalikan ekspresi saat emosinya tidak terkontrol. Dan seorang ibu harus tidak malu melihat anaknya bertingkah aneh, seperti tanggapan masyarakat awam.

Ibu itu juga sedikit berbagi cerita tentang pengalaman anak autis di tengah masyarakat. Kurang lebih begini ceritanya:

Seorang anak autis sedang belanja dengan ibunya di sebuah mall. Ia menemukan baju yang ia suka, kemudian ia disuruh ibunya untuk mencoba baju itu di kamar pas. Ibunya berada tidak jauh darinya, sedang memilih baju lain. Setelah anak itu memakai bajunya, ia keluar dari kamar pas untuk menemui ibunya. Tapi ternyata ia tidak menemukan si ibu.

Malangnya, anak autis yang mencari-cari ibunya di sekitar baju itu terlihat oleh satpam. Tidak lama, satpam pun menangkap anak tersebut, karena ia mengenakan baju toko yang belum dibayar. Anak itu pun berteriak ketakutan. Si ibu akhirnya mengetahui kejadian itu dan menjelaskan kepada satpam bahwa anaknya penyandang autis. Namun satpam tersebut tidak percaya. Ia tetap memaksa mengamankan anak tersebut.

Dari cerita ini, miris sekali mendengarnya. Ketidakpahaman orang normal akan autis menyebabkan anak autis termarginalkan dalam hidup dan sosialisasinya. Anak autis dalam cerita tersebut bisa dipastikan mengalami trauma yang sulit sembuh.

Ibu tersebut juga sangat menyayangkan regulasi atau peraturan hukum Indonesia yang sangat kurang mengakui keberadaan anak berkebutuhan khusus seperti anak autis ini. Anak autis seringkali disamakan dengan orang gila. Kadang, maling tertangkap, ia tiba-tiba pura-pura menjadi gila, lalu ia pun lepas dari jeratan hukum. Dibandingkan dengan kasus anak penyandang autis yang tertangkap di mall tadi, ia tetap dihukum dengan denda berlipat. Sungguh tidak adil.

19 April 2008 lalu, salah satu media massa memberitahukan bahwa Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, dalam pidato kemanusiaan pada acara peringatan Hari Autis Dunia 2008, berharap penanganan terhadap anak-anak penyandang autisme tidak mengutamakan sisi komersial, namun lebih bertumpu pada sisi kemanusiaan. Mahalnya biaya terapi dan minimnya akses pelayanan kesehatan menyebabkan upaya memandirikan anak penyandang autisme terhambat.

Anak autis kembali mengalami dilema masa depan mereka, ketika mereka adalah bagian dari keluarga yang kurang mampu dan kurang edukasi akan autis. Ada beberapa kasus yang menyebutkan anak autis dipasung dan dijauhkan dari lingkungannya. Anak autis seperti mendapat kutukan dari kehidupan sosialnya.

Pemerintah juga bisa dipastikan acuh akan permasalahan anak autis di Indonesia. Kalau pun mereka punya solusi, pasti mereka menawarkan anak autis tetap dibedakan lingkungannya dengan masyarakat normal.

Kurangnya sosialisasi akan anak autis juga menjadi batu sandungan terbesar yang menyulitkan solusi anak autis di negeri ini teratasi. Pendidikan pengenalan tentang anak autis hanya bisa ditemui di yayasan atau sekolah-sekolah yang peduli terhadap anak luar biasa ini.

Di bangku perkuliahan, penerapan sosialisasi dan komunikasi dengan anak autis hanya dilakukan mahasiswa jurusan psikologi. Menurut sebagian besar mahasiswa atau dosen, anak autis mempunyai kelainan psikis dan cara komunikasi, sehingga yang paling sesuai berdekatan dengan anak autis adalah mahasiswa psikologi. Lalu, mengapa mahasiswa ilmu komunikasi atau sosiologi tidak diibatkan?

Ketidakjelasan perilaku hukum terhadap anak autis di Indonesia juga menjadi permasalahan. Payung hukum yang melindungi anak autis tidak ada, sehingga anak autis di Indonesia kemungkinan masih berkesempatan mengalami kasus serupa seperti anak autis yang tertangkap di mall tadi.

Pentingnya berkomunikasi dengan baik untuk menjalani hidup dengan orang lain adalah tuntutan wajib orang normal. Namun, jangan samakan tuntutan ini terhadap anak autis yang memiliki keterbatan akan hal tersebut, dan jangan pula menyamakan anak autis dengan orang gila. Autis bukan gila. Sekali lagi, autis bukan gila.

Mempunyai anak yang mengidap autisme pasti menjadi mimpi buruk bagi setiap orang tua. Namun, kelainan ini bukan alasan untuk berputus asa. Meski sepintas penyandang autisme kelihatan kurang cerdas pada masa kecilnya, bukan berarti mereka tidak punya potensi untuk maju. 

Bagi kita yang merasa memiliki pemikiran lebih dalam dan rasa pengertian tinggi, jika bertemu dengan anak autis, bimbing mereka untuk berkomunikasi dan bersosialisasi dengan baik. Menjauhi akan membuat mereka terus hidup di dunianya sendiri. Layaknya Anda yang berbeda dengan rekan-rekan Anda yang lain, anak autis pun berbeda dengan rekan-rekannya yang lain.




Comments

  1. Kayaknya saya waktu kecil juga nunjukin ciri-ciri yang kayak di gambar itu. Jangan-jangan sebenernya saya autis. (Langsung parno.)

    ReplyDelete
  2. Pentingnya berkomunikasi dengan baik untuk menjalani hidup dengan orang lain adalah tuntutan wajib orang normal... bener banget. kurangnya komunikasi. sangat menjenuhkan.

    ReplyDelete
  3. Dua sepupu isteri mempunyai anak yang autis.
    memang perlu kesabaran tinggi untuk mendidik dan merawat mereka.
    Semoga anak-anak tersebut bisa menjadi anak yang sholeh, profesional dan bermoral. Amin
    Terima kasih artikelnya
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
  4. semoga anak2 autis di indonesia tidak lagi dibedakan hak nya sbg warga negara.
    Saya punya beberapa murid yg mengalami autisme tp mereka bisa bergaul dg kita yg "normal". Walaupun ya memang saya harus sangat berhati-hati sekali ketika mengajar di kelasnya dia, dan berhati2 sekali memberikan pengertian pada teman2 sekelasnya. Ternyata mereka tidak susah diajak berkomunikasi, asal kita sabar dan mengerti ttg dia. :)

    ReplyDelete
  5. Yang jelas, autis bukan pengguna blackberry ya :) kebanyakan orang scr asal menggunakan istilah 'autis' utk menyebut orang yang sulit lepas dari gadget.
    Lepas dari itu, tulisan ini bagus. Saya bisa jenuh mungkin kl bergaya medis haha. Pemahaman org terhadap autisme memang saya rasa kurang. Terima kasih utk mbak Ely sdh berbagi. Smg bermanfaat dan smg dibaca oleh pakar. Smg dunia psikologi komunikasi lebih berkembang.

    ReplyDelete
  6. kadang memang perlu menjadi seseorang yang aneh agak bisa merasakan perndertaan mereka dan berubah menjadi peduli..
    jangan salahkan mereka tapi jadilah dari bagian mereka agar lebih menghargai itu semua..
    keren Ely.. keep it up..

    ReplyDelete
  7. waaaaaaaaaaaaaaaaaaah.. saya autis kayaknya nih :D

    ReplyDelete
  8. Bahaya autis juga melanda pengguna gadget tu, hehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

INTO THE WILD: Kisah Tragis sang Petualang Muda

Penulis: Jon Krakauer Penerjemah: Lala Herawati Dharma Penyunting: Maria M. Lubis Penerbit: Qanita Tahun: Februari, 2005 Tebal: 442 halaman “Aku ingin pergerakan dinamis, bukan kehidupan yang tenang. Aku mendambakan kegairahan, bahaya, dan kesempatan untuk mengorbankan diri bagi orang yang kucintai. Aku merasakan di dalam diriku, tumpukan energi sangat besar yang tidak menemukan penyaluran di dalam kehidupan kita yang tenang.” – Leo Tolstoy (“ Family Happines ”) Tokoh utama dalam buku non-fiksi ini adalah Christopher Johnson McCandless, seorang pemuda berusia 24 tahun yang telah merampungkan studinya di Universitas Emory pada tahun 1990. Ia adalah seorang anak dari keluarga kaya di Kota Washington, D.C. Ayahnya, Walt McCandless adalah seorang insinyur angkasa luar yang bekerja untuk perusahaan konsultan miliknya sendiri bernama User System, Inc. Mitra kerjanya adalah ibu Chris, Billie. Chris McCandless pemuda pandai. Ia lulus dengan indeks prestasi kum

Cemburu Itu Peluru

Judul: Cemburu itu Peluru Penulis: Andy Tantono, Erdian Aji, Kika Dhersy Putri, Novita Poerwanto, Oddie Frente   Penerbit: Gramedia Pustaka Utama   Tahun: 2011   Tebal: 160 halaman ISBN: 978-979-22-6868-3 DADAKU SESAK. Puisi yang kugubah sepenuh hati untukmu, kau bacakan pada sahabatku.( @Irfanaulia, via @fiksimini)     Berawal dari sebuah akun twitter @fiksimini, lima penulis antara lain Erdian Aji, Novita Poerwanto, Oddie Frente, Kika Dhersy Putry, dan Andy Tantono berhasil membawa angin segar dalam mengembangkan karya lewat benih fiksi 140 karakter. Singkat, namun ‘ledakan’nya terasa.   Lima penulis ini memiliki masing-masing ciri khas dalam menuliskan fiksinya dan hasilnya jarang mengecewakan. Ide cerita dari 140 karakter menghasilkan beragam cerita super pendek bertema cinta dan kecemburuan. Cinta dalam Cemburu itu Peluru digambarkan begitu dekat dengan realita, senyaman apa pun sengeri bagaimana pun. Cinta dalam Cemburu itu Peluru tidak hanya dimaknai se

SENJA DI JAKARTA

Penulis         : Mochtar Lubis Penerbit       : Yayasan Obor Indonesia Tahun          : Juli 2009 (Cetakan Kedua) Tebal buku   : 405 halaman Ukuran     : 17cm x 11 cm   Senja di Jakarta merupakan novel yang mengusung tema kehidupan politik dan sosial di Jakarta selama kurun waktu 1960an. Awalnya, novel ini terbit dalam bahasa Inggris dengan judul Twilight in Jakarta pada tahun 1963, dan terbit dalam bahasa Melayu tahun 1964. Sebelum Mochtar Lubis memulai kisah dalam novel ini, ia menuliskan bahwa semua pelaku dan tokoh serta kejadian dalam cerita ini tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi sebenarnya. Secara keseluruhan, cerita yang disajikan oleh penulis memang tidak bisa dipastikan benar-benar terjadi, namun pada dasarnya detail peristiwa yang dituliskannya memang pernah terjadi dan sering terjadi di Indonesia.