Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tahun : Juli 2009 (Cetakan Kedua)
Tebal buku : 405 halaman
Ukuran : 17cm x 11 cm
Senja di Jakarta merupakan novel yang mengusung tema kehidupan politik dan sosial di Jakarta selama kurun waktu 1960an. Awalnya, novel ini terbit dalam bahasa Inggris dengan judul Twilight in Jakarta pada tahun 1963, dan terbit dalam bahasa Melayu tahun 1964. Sebelum Mochtar Lubis memulai kisah dalam novel ini, ia menuliskan bahwa semua pelaku dan tokoh serta kejadian dalam cerita ini tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi sebenarnya.
Secara keseluruhan, cerita yang disajikan oleh penulis memang tidak bisa dipastikan benar-benar terjadi, namun pada dasarnya detail peristiwa yang dituliskannya memang pernah terjadi dan sering terjadi di Indonesia.
Cerita tentang pejabat-pejabat partai yang kaya raya lalu korupsi digambarkan timpang dengan kehidupan orang-orang miskin. Lalu deskripsi ‘perempuan-perempuan malam’ yang sengaja bekerja dengan cara itu agar hidup mereka berkecukupan. Kisah seorang pemilik media yang memanfaatkan medianya untuk kepentingan pribadi juga ikut andil dalam novel ini.
Garis besar cerita dalam novel ini adalah korupsi, dilakukan oleh tokoh utama dalam novel ini, Suryono, seorang pekerja di Kementrian Luar Negeri bersama tokoh-tokoh yang lain yaitu Raden Kaslan, ayah Suryono sekaligus direktur NV “Bumi Ayu” dan anggota Partai Indonesia dan rekan se-partainya, Husin Limbara yang menjabat sebagai ketua Partai Indonesia. Penulis benar-benar lihai menggambarkan dialog ‘nakal’ para pejabat yang memeras kekayaan demi kekayaan dari cara berpolitik. Ketiga tokoh ini berperan dalam partai besar yang akan memimpin rakyat. Lalu muncullah Halim, sang pemilik media Suluh Merdeka yang digandeng untuk berkoalisi.
Halim, seorang pemilik media sekaligus wartawan yang berkoalisi dengan Partai Indonesia diharapkan bisa menjatuhkan partai lawan dengan tulisan-tulisan yang dibuatnya. Namun Halim ternyata mempunyai maksud memperkaya diri sendiri lewat komunikasi politiknya yang cerdik mengakali anggota-anggota dalam partai. Kisah tentang Halim ini sangat menyindir realita yang ada akhir-akhir ini, dimana media sudah bercampur dengan politik dan sangat jauh dari nilai kejujuran sebuah fakta.
Ketika pejabat-pejabat tinggi sibuk mengais uang dengan cara ‘kotor’, muncul tokoh Saimun dan Itam, para pemulung sampah yang setiap harinya hidup berkotor-kotor untuk mendapat uang. Dalam novel ini, uang masih dalam harga murah. Penulis mengakrabkan pembaca dengan mata uang satu rupiah, lima rupiah sebagai gaji Saimun dan Itam setiap harinya, sedang 1000 rupiah adalah gaji pejabat.
Tidak hanya bercerita tentang politik dan sosial, penulis mencoba memberi bumbu percintaan orang dewasa yang disajikan begitu blak-blakan. Kisah tentang pelacuran malam ditulis begitu nyata. Sehingga saya rasa, novel ini tidak sesuai jika dibaca anak dibawah umur, meski penulisan sastranya bisa dibilang begitu elegan.
Permasalahan yang dituliskan oleh penulis dalam novel ini begitu kompleks, kadang-kadang ditengah-tengah cerita disajikan beberapa perdebatan beberapa tokoh yang tema perdebatan itu sering menjadi topik hangat setiap pembicaraan mahasiswa. Tentang sebuah negara yang menganut ajaran Islam misalnya. Atau negara komunis.
Saya sedikit terganggu dengan setiap selingan ‘LAPORAN KOTA’ dalam novel ini. Meski pada dasarnya penulis bermaksud memberitakan kejadian lain yang terjadi di kota, mulai dari pembunuhan, kecelakaan, dan ketimpangan sosial, namun saya rasa ini membuat pembaca tidak fokus pada tokoh-tokoh utama yang disajikan dalam novel ini. Terlalu banyak nama tokoh yang bermunculan di tengah-tengah cerita juga membuat pembaca bingung, apalagi cerita-cerita pada LAPORAN KOTA tidak diceritakan ending-nya.
Pembaca benar-benar perlu berkonsentrasi pada setiap bait cerita yang dituliskan oleh Mochtar Lubis, dan jika perlu paham benar dengan gaya komunikasi politik, agar tidak ketinggalan cerita tanpa paham sedikit pun. Ending hidup setiap tokoh seperti Suryono, Raden Kaslan, Husin Limbara, Saimun, dan Itam, diceritakan begitu dramatis dan spontanitas. Pembaca tidak akan mengira sebelumnya.
Tentang cover novel ini, Mochtar Lubis sepertinya sengaja memilih lukisan abstrak sebagai sampul. Menarik, terlihat tidak monoton dan tidak mudah ditebak apa yang ingin digambarkan dalam cover tersebut. Sepintas, terlihat seperti ada lukisan matahari besar dengan beberapa bangunan di bawahnya. Latarnya, memilih warna gelap, sebagai representasi makna senja yang mendekati malam.
Di pasaran, saya rasa buku ini jarang ditemui, kebanyakan sudah out of print atau sold out. Sayang sekali, buku bagus karya anak bangsa berbakat seperti Mochtar Lubis malah tidak gencar dipromosikan. Mungkin, hanya kalangan tertentu saja yang tertarik dengan buku ini. Lalu, apa konsumsi buku-buku berbobot seperti ini sudah tidak zaman? You should ask yourself right now…
el, kamu punya a??? sini sinii buat aku :p
ReplyDeletemembaca review yang bagus ini, jadi kepengeeeen baca bukunya secara langsung. Makasih banyak ya, Mbak El.
ReplyDeleteSalam kenal dari Jogja.
Sekarang lagi musim novel romance :)
ReplyDelete@Nima : punya nim, itu buku langka. Ga mungkin aku kasih kamu, Haha :p
ReplyDelete@Akhmad : semoga bermanfaat postingannya :D
@SobatBercahaya : bener...yg temanya cinta-cintaan anak muda gitu yaa...
Sy berminat beli buku2 sastra karya mochtar lubis. Mhn info selanjutnya.
ReplyDelete