Cerita sebelumnya klik PJTL bagian 3: Kedai Merah
“Sebagian kita seperti tinta dan sebagian lagi seperti kertas. Jika bukan karena hitamnya sebagian kita, sebagian kita akan bisu. Dan jika bukan karena putihnya sebagian kita, sebagian kita akan buta.” – Kahlil Gibran
“Kalau kita ke Pasar Johar, jaraknya masih jauh
lagi, sedangkan kita hanya diberi waktu satu jam untuk liputan. Gimana kalau
kita menyebar di daerah sini saja, kalian bebas meliput apa saja yang penting
lingkup temanya masih anak jalanan,” jelas Mas Edo ke peserta.
“Kita nanti ketemu di lampu merah ini saja,
setengah jam lagi” ringkas Mas Edo sambil melihat sekitar. Ni’mah yang tadi
duduk di sebelah saya ketika di bus, memilih untuk mewawancarai ibu pengemis di
tengah jalan. Saya memilih untuk putar arah. Masih belum menemukan siapa dan
apa yang akan saya liput.
Sampai akhirnya saya melihat pom bensin yang
sudah tidak berfungsi dan ditutup oleh seng di sekeliling area itu. Seng yang
dicat putih itu bertuliskan “GOAL FOR HOTEL” dengan cat merah. Seng terbuka
sedikit pada bagian ujung, sehingga saya bisa melihat ke dalam.
“Monggo
mbak (silahkan mbak) …” sapa seorang bapak penjual angkringan. Saya pun masuk
ke dalam. Kebetulan saya haus sekali sehingga saya langsung memesan segelas es
teh. Bapak itu mengiyakan. Setelah membuatkan saya es teh, Bapak itu permisi
sebentar untuk mengantar kopi untuk karyawan dealer motor sebelah.
Cukup lama, akhirnya bapak itu kembali.
“Nggak sarapan ta mbak? ada mie, nasi kucing…”
kata Bapak itu menawarkan. Saya tersenyum kemudian mengambil pisang goreng di
depan saya.
“Saya makan pisang goreng saja Pak, enak
pisangnya, bikinan Ibu ya?” tanya saya basa-basi.
“Bukan mbak, itu gorengannya titipan, nasi
kucingnya juga titipan, istri saya di rumah, tidak disini,” jawab Bapak itu
membuat saya agak kaget.
“Bapak asli mana? sekarang tinggal dimana?”
“Saya asli Solo, saya tinggal disitu mbak,”
sambil menunjuk ke arah bekas toko pom bensin. Saya makin tercengang.
“Pom bensin ini sudah lama tidak berfungsi lagi,
soalnya tanahnya dibeli sama yang punya hotel di seberang jalan itu lo mbak,
lha saya ini kebetulan diberi tempat untuk jualan, sama tempat buat tidur,
Alhamdulillah mbak…” terang Bapak itu sambil sesekali melayani pembelinya yang
rata-rata berseragam kantor.
Macam-macam makanan di angkringan itu |
Pom bensin yang sudah tidak berfungsi lagi |
Tidak ingin tercengang lama-lama, saya pun
manggut-manggut mendengar cerita Bapak yang berumur sekitar 40an tahun itu.
“Mbak kuliah ya disini?” tanya Bapak itu
kemudian.
“Oh, tidak pak…saya ikut pelatihan jurnalistik
di Udinus, saya dari Malang,” jawab saya.
“Wah…jauh-jauh dari Malang mbak…”kata Bapak itu
sedikit terperangah.
“Kenapa jualannya mesti di tempat nyempil gini pak? Kalau di luar situ kan
lebih laris,” tanya saya sambil mengarah ke arah jalan besar.
“Dapat tempatnya disini soalnya mbak. Lagian
kalau di luar bisa kena razia satpol PP. Jalan Pemuda ini kan jantung kotanya
Semarang, jadi harus bebas dari pedagang-pedagang macam saya ini,” ungkap Bapak
itu.
“Bapak pernah kena razia?”
“Pernah dulu waktu belum punya tempat disini.
Jualan saya diangkutin semua, tapi sekarang Alhamdulillah aman,” kata Bapak itu
sambil tersenyum.
Saya menyeruput es teh saya sampai habis karena
waktu yang diberi panitia akan usai. Saya mengambil beberapa pisang goreng
untuk dibawa kembali ke Udinus. Setelah membayar seluruh pesanan saya, saya
menunggu peserta lain sambil berbincang dengan seorang ibu tua penjual bensin.
Suaminya juga sudah tua. Ibu itu mengeluh karena suaminya tidak mau narik
becak.
“Bapak sudah tua, dia mudah capek, mangkanya
sering tidak narik becak, itu malah tidur,” kata Ibu itu sambil melirik ke arah
suaminya yang tidur di atas becaknya.
“Saya tadi sudah ditanya-tanya sama temannya
mbak yang itu,” kata Ibu itu menunjuk ke arah salah satu peserta. Saya
tersenyum kemudian pamit pergi mengikuti peserta lain yang telah selesai
liputan.
Sekembalinya saya di kelas, saya mulai menulis
reportase saya di satu lembar HVS. Judulnya; Angkringan. Liputan yang sudah
saya tulis rapi itu saya kumpulkan ke moderator diskusi, Habibur Rohman dan
langsung mendapat giliran pertama untuk dibacakan, karena tulisan saya yang
katanya rapi. Tulisan saya itu dibacakan oleh peserta lain, Rudi Susanto,
peserta dari LPM LPM Sawung Galing, Universitas Negeri Surabaya.
Bung Imam sesekali mengangguk mendengar tulisan
saya dibaca. Entah itu pertanda baik atau biasa saja.
“Seperti kata Rhoma Irama, yang kaya makin kaya,
yang miskin makin miskin,” pertanda tulisan saya sudah selesai dibaca oleh Rudi
dan sontak membuat peserta lain tersenyum geli mendengar kutipan yang saya
buat. Mungkin karena saya mengutip dari Rhoma Irama.
Bung Imam pun ikut tertawa kecil.
“Sudah lumayan bagus tulisannya,” kata Bung Imam
membuat saya tersenyum lega.
Tulisan teman-teman saya yang lain juga
dibacakan satu per satu dan dikoreksi satu per satu hingga siang hari. Setelah
itu Bung Imam sedikit menyampaikan materi tentang metode dalam melakukan
verifikasi.
Hampir selesai Bung Imam menjelaskan materinya,
tiba-tiba kelas menjadi gaduh.
“Lha…ini pemateri kedua sudah datang, saya musti
cepat berakhir ini,” kata Bung Imam mengarah pada seorang berkaos abu-abu,
bertubuh besar, wajahnya seperti mengandung darah Cina, matanya sipit,
rambutnya dikuncir kecil, memakai topi hijau bertulis Mongabay Indonesia.
Peserta kemudian diharap memperhatikan Bung Imam
kembali sampai akhirnya pemateri pertama ini mengakhiri perjumpaannya di kelas
PJTL ini. Setelah panitia memberi Bung Imam sebuah souvenir sebagai
kenang-kenangan, Bung Imam diminta foto bersama.
“Nanti saya tunggu progress tulisan dari kalian. Sebaiknya bikin grup di facebook lalu posting tulisan kalian disana, kalau ada waktu luang saya akan
koreksi,” begitu pesan Bung Imam hingga akhirnya Direktur Pantau itu
benar-benar berlalu meninggalkan kelas.
(BERSAMBUNG)
pers = pilar ke empat demokrasi; demokrasi = mempersilahkan; mempersilahkan = irrasional bagi negara-bangsa yang percaya norma; negara itu bernama indonesia.
ReplyDeleteDemokrasi dan pers adalah cerita. mungkin sebentuk absurditas karena lambat laun setiap orang merasa butuh; merasa gagah ketika meragukan sejarah. apa dunia butuh demokrasi? apa dunia butuh terus diwartakan agar kita tetap tau diri; tau bopengnya wajah dunia? dunia tetap memiliki cara yang mistis dan irrasional untuk membuat orang tau identitasnya, sejarahnya. pertanyaanku pada pers hari ini: mampukah kita merepresentasikan apa yang baru saja terjadi dengan tepat sebagaimana apa yang disampaikan bill ko-Fuck? mampukah pers hari ini melukiskan dan menyajikan apa yang seharusnya kita tiru, adopsi, dan kita teladani sebagai modal untuk tau siapa kita ini?
ya, pers itu tak boleh mati. ia benda antik yang kalau di buang sayang, kalo ada juga kita bingung apa fungsinya. mungkin karena itu PJTL laku keras. hehehe
ini kata tony blank lo. bukan saya. sumpah!
ini semacam refleksi kekecewaan terhadap fungsi pers? hehe.
Deletesaya masih percaya ungkapan Mark Twain:
"there are two things that lightening the world, sun in the sky and press in the earth"
Pers lebih kepada media, dan kita butuh media untuk tidak buta.
Kalau merasa pers menyimpang dari apa yang diharapkan, kenapa tidak diselesaikan dengan mendirikan media sendiri? Toh apapun yang tidak sesuai dengan pers tergantung pemiliknya...
Hai El, kamu tau Nabi Besar Muhammad "buta huruf", dalam konteks sebagai penerima wahyu Al Qur'an?
ReplyDeleteEl, Re-PRESENT yang sebenar-benarnya itu ada gak? Misal nih, setelah kamu melihat saya merokok, bisa gak kamu gambarkan kembali dalam tulisan bagai mana saya merokok? Bisakah 100% akurat apa yang kamu gambarkan? Bagaimana dengan tafsir pembacamu mengenai apa yang kamu tulis mengenai cara saya merokok; sama seperti yang kamu pikirkan atau?
Berapa persen pengetahuan, hal yang kamu tahu secara otentik, dan berapa persen yang "katanya ini, katanya itu?"
Sesuai itu bagaimana? Atau yang "sesuai" itu yang benar-benar bisa re-present? hehehe :p
Sejauh yg saya percaya, pers itu baik untuk mengurangi pengangguran :)